Dua tahun silam, saat Loren masih menjadi gadis periang dan lugu, hari-hari mereka dipenuhi canda tawa bersama sang sahabat, Yura. Namun, di balik tawa itu, tersimpan luka yang kian menganga di hati Yura. Setiap kali bertatapan dengan seorang pria, rasa amarah dan trauma seolah menyeruak, memenuhi rongga dadanya bagai monster yang tak kunjung terkendali.
Sore itu, saat pulang sekolah bersama Loren, Yura kembali menerima bunga dari seorang pria. Wajahnya berubah masam, pancaran ketakutan tergambar jelas di sana, seakan ia baru saja dihadapkan pada mimpi buruk yang tak kunjung usai. "Eh, Ren, si Pak Anton ngasih bunga lagi nih ke gue," ujar Yura, nada suaranya terdengar kesal.
Loren menatap sahabatnya dengan raut wajah prihatin. "Yura, kenapa sih kamu selalu takut gitu sama cowok? Apa mereka semua beneran sejahat itu?" tanyanya dengan nada penuh perhatian.
Yura menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak emosi dalam dirinya. "Tau deh, Ren. Gue juga bingung, tapi yang jelas mereka itu nyeremin. Gue nggak mau lagi deh kenalan sama cowok."
Loren terdiam sejenak, mencoba memahami pergolakan batin Yura. Kemudian, dengan nada penuh harapan, ia berkata, "Eh, gimana kalau kamu kenalan sama kakak gue? Dia tuh cowok yang baik banget lho, bahkan dia belum pernah pacaran sejak SMA!"
Mata Yura membelalak saat ia berbalik menatap Loren. Setitik cahaya harapan muncul, namun segera padam oleh bayang-bayang rasa sakit yang telah ia alami. "Kakakmu? Ren, lo pikir dia bisa ngubah persepsiku tentang cowok-cowok? Gue nggak mau ngerasain luka yang sama lagi deh."
Hati Loren ikut tergerak, merasakan penderitaan yang Yura alami. Ia tahu bahwa kakaknya, Deren, adalah sosok yang baik dan lembut, berbeda dengan pria-pria yang selama ini Yura temui. "Ayolah, Yur, percaya deh sama gue. Kakak gue tuh bener-bener baik, gue jamin deh!"
Yura ragu-ragu, keraguan terukir jelas di wajahnya. Namun, jauh di lubuk hatinya, ia merindukan seseorang yang akan memperlakukannya dengan hormat, bukan sekadar memanfaatkan kerentanannya. Akhirnya, dengan lompatan keyakinan, ia mengangguk. "Oke deh, sekalian juga gue mau mampir ke rumah lo."
Keesokan harinya, suasana terasa lebih hangat di rumah Loren. Dia bersemangat memperkenalkan Yura kepada kakaknya, Deren. Deren adalah pria tinggi berusia awal dua puluhan dengan suara lembut yang seolah mampu menenangkan angin ribut dalam hati Yura. Senyumannya, lebar dan hangat, dibuatnya seolah matahari pagi yang menyapa lembut.
Saat Yura memasuki ruangan, bayangan masa lalu yang kelam dan trauma berputar-putar dalam benaknya. Suara gelap lelaki yang pernah menghancurkan kepercayaannya terbayang lagi-sebuah ungkapan ketidakberdayaan yang tersemat dalam benaknya. Namun, kedatangan Deren membawa nuansa yang berbeda, seperti paduan nada dalam lagu yang merdu.
"Eh, jadi kamu temennya Loren, ya?" Deren menyapa, suaranya lembut tapi penuh rasa penasaran. "Nggak biasanya Loren bawa temen ke sini. Boleh tau namamu?"
Yura hanya mengangguk kecil, matanya menatap Deren dengan penuh kewaspadaan. Jangan lengah, Yura. Dia juga laki-laki. Batinnya memperingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...