Di tengah kerlipan lampu-lampu Malioboro, Iyan terpaku menatap anak laki-laki di depannya. Ia merasakan dadanya sesak, campuran antara rasa malu dan bingung. Dia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada bocah yang menatapnya dengan tatapan sinis.
Iyan menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara. Suaranya sedikit bergetar. "A-aku kepisah sama pacarku. Adek, tau cewek cantik pakai gaun merah jalan lewat sini nggak?"
"Apaan cewek cantik baju merah, ya nggak tau lah." Bocah itu hanya menatap Iyan dengan datar sebelum ia memalingkan pandangannya. "Kalo Kakak nyari kayak tadi pasti udah di kira orang gila."
"Apa aku nggak gila ya, aku cuma panik," bantah Iyan dengan nada tegas.
"Duduk aja dulu, tunggu sini!" anak itu menyarankan, perhatiannya masih terfokus ke jalanan. "Aku juga baru kepisah sama kakakku, aku udah nunggu dia lebih dari 30 menit."
Iyan menghela napas, lalu menatap anak laki-laki yang duduk sendirian di tengah kerumunan. Mata bocah itu sama sekali tidak menunjukkan kegelisahan. Malah sebaliknya, dia terlihat santai dan cuek. Iyan tersenyum simpul, lalu perlahan duduk di sebelah anak tersebut.
"Apa kakakmu nggak nyariin? Setengah jam itu lama nggak takut." Tanya Iyan mencoba bersikap sedikit ramah sembari melupakan kejadian memalukan yang baru saja ia lakukan.
"Nggak, udah biasa nanti juga ketemu, kalau nggak aku nyari masjid buat tidur," jelas Adkins.
"Eh, siapa nama kamu?" tanya Iyan mencoba bersikap ramah.
"Adkins Fritz, panggil aja Adkins!" Jawabnya dengan nada cuek. Matanya yang berwarna perak menatap Iyan dengan tatapan yang entah mengapa membuat Iyan merasakan sesuatu yang aneh dari anak tersebut. Ada semacam magnet yang menariknya, tapi juga ada semacam duri yang menusuknya.
Iyan menatap mata perak yang tampak menawan tersebut dengan seksama. "Adkins ya, namaku Iyan, kamu tinggal dimana?"
"Aku tinggal di Magelang, aku nemenin kakakku dinas militer," jelas Adkins dengan singkat.
"Apa cukup dekat?" tanya Iyan, perlahan ia mengambil coklat dari tas selempangnya. "Kau mau cokelat?" Tawar Iyan, sembari menyodorkan sebungkus cokelat kepada Adkins.
"Makasih kak," balas Adkins. Dia membuka bungkusnya dan memasukkan sepotong cokelat ke mulutnya. "Dia itu guruku di akademy militer khusus, kami nggak punya hubungan darah tapi kita udah kayak ayah sama anak."
Iyan tersenyum melihat, bocah itu entah kenapa ia bisa dan nyaman untuk berbicara panjang lebar denganya. "Biro akademi, khusus berarti itu buat anak-anak yang punya salah satu dari empat eksistensi di luar potensi manusia. Semacam cahaya, kegelapan, Red, dan Sapphire atau Entropi gitu ya?"
"Ya, ini tahun ke dua aku di biro akademy red," jelas Adkins dengan nada datar.
Iyan hanya terdiam dan tersenyum tipis, sembari menerawang ke arah jalan. Ia masih terlihat cemas Iyan masih khawatir dengan keadaan Loren.
Adkins merasakan getaran kecemasan yang mengalir dari tubuh pemuda itu. "Kakak, apa kau masih cemas?" tanyanya dengan suara lembut.
Iyan menghela nafas panjang, lalu menundukkan kepalanya. "Aku cuma agak lelah," Jawabnya dengan senyum yang terpaksa. "Aku udah lama nggak tidur nyenyak."
Perlahan Adkins meberikan suatu benda yang sedari tadi ia bawa. "Ini buat kakak, anggap aja balesan cokelat yang tadi."
"Apa ini?" Iyan menatap mainan yang Adkins berikan dengan tatapan bingung.
"Spiner aku sering mainin itu buat biar nggak cemas."
Perlahan, Iyan mengambil spiner itu dan menatapnya dengan seksama. "Gimana cara mainnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...