043. Chandelier

55 3 4
                                    

Jantung Iyan berdetak tak beraturan, irama panik yang menggema di telinganya. Tubuhnya menegang, bagai rusa yang terperangkap dalam sorotan mata pemangsa. Belum sempat cengkeraman Hans menghancurkannya, Iyan melesat, berlari tertatih-tatih menuju kamarnya, mencari perlindungan dalam ruang sempit yang terasa semakin menyesakkan.

Saat langkahnya baru saja keluar dari ruangan itu, tampak di ujung Lorong, Firen berdiri menunggu. Wajahnya yang teduh, biasanya menjadi mercusuar dalam badai kehidupan Iyan, kini terasa asing, tertutup kabut tebal kebingungan. Di tangannya, segelas susu mengembun, namun tak mampu lagi menenangkan gejolak yang Iyan rasakan.

"Iyan, dari mana saja kamu? Susunya belum diminum, nanti dingin, lho," ucap Firen, suaranya lembut bagai belaian, tetapi kini terasa dingin menusuk tulang.

Iyan menubruk ibunya, mencari perlindungan dalam pelukan yang selalu menjadi pelabuhan hatinya. Namun, kali ini, bahkan aroma familiar Firen pun tak mampu mengusir bayang-bayang ketakutan yang kian mencengkeramnya.

Tanpa sadar, Iyan berlari ke pelukan ibunya, mencari perlindungan yang selama ini ia dapatkan dari wanita itu. "Ibu—" lirihnya, suaranya tercekat di tenggorokan.

"Iyan, ada apa?"

Iyan mendongak, matanya yang dipenuhi ketakutan menatap ibunya dengan tatapan memohon. "A-ayah mau ... Ayah nyuruh aku buat kakak celaka ... pakai butterfly effect!"

"A-apa?" Firen membeku, pikirannya berputar cepat mencoba mencerna ucapan Iyan yang terasa begitu surealis. Belum sempat ia mengurai benang kusut dalam pikirannya, langkah berat Hans terdengar mendekat. Wajahnya tegang, urat-urat di lehernya menonjol, mencerminkan pergolakan batin yang dahsyat. Di tangannya, sebuah sangkar burung kecil terayun.

"Iyan," panggil Hans, suaranya datar, namun penuh ancaman. "Dengarkan Ayah! Fredrin itu nggak akan pernah benar-benar sayang sama kamu! Ayah melakukan ini semua juga demi kebaikan kamu!"

Kemarahan menyala di mata Firen. "Hans, apa-apaan ini?! Jelaskan padaku!"

"Perusahaanku mulai bangkrut. Aku sudah mem-PHK banyak karyawan. Jadi aku butuh asuransi Fredrin untuk menutupi utang dan kerugian perusahaan," jelas Hans.

Firen terkejut, hatinya bergetar mendengar pernyataan itu. Bagaimana mungkin saham keluarga yang telah dibangun turun-temurun bisa mengalami krisis parah? Dalam dunia yang damai ini, mustahil rasanya menghancurkan kekayaan finansial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

"Kau bercanda! Itu mustahil! Meskipun perusahaan kita hancur, jangan pernah libatkan anak-anak dalam urusan ini!"

Namun, Hans tak peduli dengan apa yang diucapkan istrinya, Hans melayangkan tamparan yang cukup keras, membuat tubuh Firen tersungkur ke lantai. Gelas yang dibawanya terlempar, menciptakan percikan air susu yang menyebar di lantai, seolah menambah warna dramatis pada situasi yang telah memanas.

Iyan terperangah, matanya melebar melihat kejadian itu. Ia bergegas mendekap tubuh ibunya, berusaha memastikan bahwa Firen baik-baik saja, meski hatinya bergetar dalam ketakutan.

Hans masih berdiri menatap mereka dengan sinis. "Kita menikah karena bisnis, dan nggak pernah ada rasa cinta di antara kita. Anak-anak kita juga hanya akan hidup untuk keluarga, Fredrin selalu menolak buat melanjutkan perusahaan, ya aku paham karena sejak dulu dia nggak pernah mau nurut printah ku."

Iyan terpaku pada tubuh ibunya yang terbaring, menatapnya dengan penuh harap. "Ibu, bangun!" Ia berusaha untuk menyentuh ibunya, tetapi Hans sudah menghampiri dan mengelus lembut rambut Iyan.

"Iyan, jika kamu nggak mau kehilangan ibumu, lakukanlah apa yang Ayahmu minta. Katanya Iyan mau sekolah militer, bukan? Jika Ayah nggak punya uang, gimana Ayah bisa mengirim Iyan ke sana?" Hans menggantungkan kata-kata tersebut seperti gantungan yang berat, membuat Iyan merasa terjebak.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang