006. VI Titik Singularitas

390 52 10
                                    

Rasa takut, dingin, dan tajam seperti serpihan es menjalar di setiap urat nadi Iyan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa takut, dingin, dan tajam seperti serpihan es menjalar di setiap urat nadi Iyan. Jantungnya berdetak tak terkendali, menabuh irama kepanikan yang memekakkan telinga. Ia terjebak, terperangkap dalam lingkaran kegelapan yang mencekik setiap harapan. Nalurinya berteriak, memerintahkannya untuk melawan, untuk melepaskan diri dari cengkeraman maut ini. Tapi Iyan, seorang siswa SMA biasa, tak lebih dari seekor burung kecil yang terjerat jaring pemburu kejam. Peluangnya jelas-jelas sangat kecil.

Wajah bengis pria di hadapannya seolah-olah menari di atas penderitaannya. Tangan kasar itu mencengkram dagunya, memaksa Iyan menatap mata yang penuh dengan ancaman kosong. "Asal lo tahu, bocah ingusan? Dekatin Loren sama artinya nyari mati sama kita!" desisnya, suaranya serak penuh dengan janji akan penderitaan.

Tanpa ampun, kepalanya dibantingkan ke tanah, membuat darah segar menetes dari sudut bibirnya, mewarnai aspal dengan warna merah pekat.

"Ini belum seberapa! Gue pastikan lo bakal nyesel pernah lahir ke dunia ini!" teriaknya lagi, setiap kata tajam menancap di relung hati Iyan.

Pikiran Iyan berpacu deras, mencari celah di antara keputusasaan yang kian mencengkeram. Ia tahu dirinya tak berdaya melawan gerombolan buas di hadapannya. Namun, menyerah tanpa perlawanan bukanlah sebuah pilihan. Harus ada cara, sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya lolos dari mimpi buruk ini.

Di tengah kekacauan itu, matanya menangkap seberkas cahaya yang dipantulkan oleh sebuah pecahan kaca, tergeletak begitu saja di dekatnya. "Aku nggak boleh mati di sini!" gumamnya, sebuah tekad baja mulai mengisi relung hatinya.

Dengan segenap keberanian, ia meraih pecahan kaca itu, yang tajam dan berkilauan seperti pisau. Itu adalah harapan terakhirnya, satu-satunya peluang untuk bertahan hidup. Dengan mengumpulkan sisa-sisa tenaganya, Iyan menusukkan pecahan kaca itu ke betis pria yang menjepitnya, membuatnya berteriak kesakitan dan jatuh terguling.

Memanfaatkan kesempatan itu, Iyan bangkit berdiri, mengesampingkan rasa sakit yang menyiksa tubuhnya. Luka-luka dan memar-memar menghiasi kulitnya, darah mengucur dari bibirnya yang robek. Namun saat dia mencoba berlari, ia disambut oleh belasan orang yang mengelilinginya. Mereka menatapnya dengan tatapan haus darah, mengejek dan mencemoohnya. Mereka siap menghabisi Iyan, tanpa ampun, tanpa belas kasihan.

Keputusasaan kembali menyergap Iyan. Tak mungkin ia bisa melawan mereka semua. Harapan terakhirnya hanya pada sebuah keajaiban, seberkas cahaya di tengah kegelapan yang kian pekat.

Saat dia bersiap untuk menghadapi maut, kekacauan tiba-tiba terjadi, menghancurkan kesunyian yang menakutkan di gang itu. Suara ban melengking dan mesin mengaum menggema di udara, sosok yang tak terduga muncul di hadapan komplotan geng motor tersebut.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang