035. Punya Suami Gini Amat!

120 4 0
                                    

Magelang 27 February 2017. Dengan langit yang berubah menjadi kanvas kelabu, Rafel dan Adkins melaju di jalanan Magelang-Jogja yang ramai, diselimuti oleh awan-awan kelabu yang seolah ingin bergabung dalam perjalanan mereka.

Kantuk mulai merayapi kesadaran Rafel, seraya Adkins, dengan mata yang waspada, melirik ke arahnya "Kak, pelan-pelan aja! Kau kelihatan lelah!"

Adkins menatap keluar jendela, pandangannya kosong, terpaku pada lalu lintas yang bergerak lambat.  "Aku udah bilang jangan banyak makan, kenapa kau nggak pernah dengerin....?" keluh Adkins, tapi belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba saja mobil mereka berdecit keras.

Rafel dengan refleks, menginjak rem dengan brutal, tubuh mereka terhempas ke depan. Adkins, yang tak siap, menabrak dashboard, dahinya terbentur dengan suara yang memuakkan, darah mengalir deras menorehkan jalur merah di wajahnya.

Rafel menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia menoleh ke Adkins, suaranya bergetar, "Adkins, kamu nggak kenapa-kenapa kan?"

Adkins mengangkat wajahnya, darah masih membasahi kulitnya, matanya menatap Rafel dengan pandangan yang tajam. "Apa yang terjadi?" tanyanya, suaranya berat dan penuh kebingungan.

Mereka berdua menatap keluar, dan di kejauhan, pemandangan kekacauan terbentang di hadapan mereka. Lima mobil dan sejumlah kendaraan terlibat dalam kecelakaan beruntun, menciptakan simfoni logam yang bengkok dan kaca-kaca yang pecah.

Keheningan seketika menyelimuti mereka, seolah waktu berhenti untuk memberi penghormatan pada tragedi yang terbentang di hadapan mereka.

"Adkins, kau yakin nggak apa-apa? Kepalamu, berdarah," tanya Rafel lagi, matanya tidak lepas dari luka yang terpampang di dahi Adkins.

Adkins dengan cepat menyeka darah yang mengalir, mengangkat rambutnya untuk melihat luka lebih jelas. "Aku baik-baik saja, ini bentar lagi pasti sembuh. Kakak sendiri gimana?"

Rafel memeriksa dirinya sendiri, memastikan tidak ada luka yang serius. "Aku juga baik-baik aja."

Adkins dan Rafel, dengan sinkronisasi yang sempurna, menempatkan diri mereka dalam pelukan kursi mobil, seraya menghembuskan napas berat.

"Kak, sepertinya ada yang mencoba membunuh kita, ini santet atau gimana?"  tanya Adkins, mencoba mencari jawaban dalam kekacauan yang menelan sekeliling mereka.

"Ini mungkin semacam butterfly effect! Tapi aku ngak bisa gunain darahku, karena ada kegelapan dinding yang menyelimutinya. Bentar lagi mungkin kita bisa mati..." seru Rafel, matanya terpaku ke kehampaan, seolah-olah melihat melalui tirai kenyataan itu sendiri.

Adkins menghela napas, tangan kanannya membuka jendela mobil perlahan-lahan. "Ini pertama kalinya aku ngalamin hal gila kayak gini. Eksistensinya nggak kelihatan. Kau punya ide nggak, Kak?" tanyanya, suaranya mencoba menyembunyikan kekhawatiran yang mulai merayap.

Rafel hanya terdiam, tatapannya bingung dan kosong, seolah-olah pikirannya telah terperangkap dalam labirin kegelapan yang sama.

"Benar-benar nggak guna....!" bisik Adkins dengan nada datar, kekecewaannya terhadap situasi terasa semakin dalam di setiap kata yang ia ucapkan.

Adkins menutup salah satu matanya, lalu dengan jemarinya membentuk simbol persegi dan meletakkannya di atas mata yang terbuka.

"Hilangkan kejahatan di dalam cahaya, jatuhkan ke dalam kebaikan yang menyelimuti kegelapan ...!" bisik Adkins, seraya mengfokuskan pandangannya pada pada satu titik ruang hampa,  di mana partikel subatomik berkumpul.

Partikel-partikel tersebut, yang sebelumnya menyelimuti ruang atom, kini memaksa energi positif dan negatif untuk bertabrakan. Saat itulah terjadi, gelombang kejut getaran merambat melalui ruang, menghilangkan segala efek yang mungkin timbul dari anomali kausal tersebut.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang