019. Janji palsu kayak mantanku?

107 7 1
                                    

Di sebuh kamar, saat matahari mulai bersinar, memancarkan cahaya fajar yang lembut melalui jendela, ruangan itu dipenuhi dengan keheningan yang menakutkan. Iyan terbaring di sana, matanya masih terbuka lebar, tak mampu mengusir bayangan-bayangan menyeramkan yang mengganggu pikirannya sejak kejadian malam sebelumnya. Jam di meja samping tempat tidurnya terus berdetak, ritmenya yang stabil hanya menambah kegelisahan yang melandanya. Waktu telah menujukan pukul 06.10 dan ia masih bergelut dengan pikirannya sendiri.

"Aku nggak bisa tidur, sejak kejadian tadi malam aku nggak bisa tidur sama sekali."

Ia teringat malam sebelumnya, malam yang dipenuhi dengan tragedi yang tak pernah terbayang olehnya. Sekarang ia sadar bahwa malam itu lebih buruk dari yang ia bayangkan. "Aku hanya tidur selama 30 menit dan terbangun dengan mimpi yang sama berulang kali sejak semalam."

"Aku nggak mau berangkat sekolah, aku nggak mau sekolah ...!" suara Iyan bergetar karena frustrasi, air matanya berlinang. Ia mengalihkan pandangannya ke arah sebuah foto di atas mejanya, sebuah momen berharga yang terekam oleh waktu. Itu adalah foto dirinya dan neneknya, yang diambil pada hari pertama masuk SMA. Mereka berdua diliputi kegembiraan dan harapan pada hari itu, senyum mereka mencerminkan satu sama lain.

Tangannya yang gemetar mengulurkan tangan, ujung-ujung jarinya menyentuh permukaan foto. "Nenek," bisiknya, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Apa aku bisa melakukan semuanya sendiri?" Sebuah air mata keluar dari matanya, mengalir di pipinya. Dia merindukan kehadiran neneknya yang menenangkan hati dan jiwanya."

"Terkadang, segalanya yang udah aku lakuin nggak sejalan dengan takdir yang udah di tetuin. Aku nggak boleh nyerah sekarang, ini baru awal, akan ada banyak hal lagi mulai dari sekarang.

Di sisi lain rumah sakit, saat sinar fajar menyaring melalui jendela rumah sakit, memancarkan cahaya yang hangat dan lembut ke seluruh dunia, rasa duka dan kehilangan menggantung di udara. Di sisi lain rumah sakit, di koridor yang remang-remang menuju ruang otopsi, tiga sosok duduk lemah dan pucat, semangat mereka hancur karena peristiwa malam itu.

Riyan yang tertembak pada malam hari itu, mengalami pendarahan yang cukup serius. Setelah berjam-jam ia berjuang di UGD, ia akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya tadi subuh.

Loren terduduk jongkok dengan wajah lemas, sementara Noe yang terbaring di kursi koridor, wajahnya masih nampak berlinang air mata mencerminkan kelelahan jiwanya. Ia telah berada di sisi Riyan sepanjang malam, tangisan kesedihannya bergema di dinding-dinding steril. Kini, tubuhnya menyerah pada beban emosinya, dan ia pun tertidur pulas, melarikan diri sejenak dari kenyataan yang tak tertahankan yang menunggunya ketika terbangun.

Morgan yang duduk di samping Loren tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Semua geng motor yang telah ia bangun bersama Loren dan keluarganya hancur dalam satu malam.

Perlahan Loren menoleh ke arah Morgan. "Hei Morgan, mungkin setelah ini gue mau nyerah sama kasus kak Deren. Gue udah capek, dan akhirnya malah kayak gini. Aku benar-benar minta maaf buat semuanya!" Loren kembali menudukan wajahnya, begitu banyak penyesalan yang ia rasakan hari itu.

Mata Morgan membelalak kaget, jantungnya terasa sesak di dadanya. Dia tidak bisa mempercayai apa yang dia dengar. "Apa lo serius? Loren lo nggak bercanda kan?"

"Maaf Morgan, gue sadar dan mungkin kita harus mulai bubarin geng motor ini!"

Gelombang frustrasi mengalir di pembuluh darah Morgan, kesabarannya mulai menipis. Dia meraih tangan Loren yang lemah, dan megenggamannya dengan kuat. "Lo gila ya? Kita udah capek-capek buat balikin moral anak-anak geng motor dan sekarang! Lo mau bubarin geng kita gitu aja?"

Loren menatap Morgan dengan tatap tegasnya. "Lo pikir, anggota geng motor yang masih hidup berapa? Aku udah capek kalau ngumpulin dan bangun dari awal lagi, sumpah aku capek Morgan!"

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang