"Gue suka sama wanita kantoran yang sering mampir ke toko, namanya Kak Gresy. Ahhh gila, aku malu banget," ujar Morgan dengan wajah salah tingkah.
"Kak Gresy? Oh, yang sering beli cokelat panas itu? Emangnya kenapa bisa tiba-tiba suka? Aku aja yang tiap hari di sini nggak pernah sekalipun ngobrol lebih dari 'selamat datang' sama dia."
"Ya iyalah, lo kan introvert akut," sindir Morgan.
"Anjir...!" Iyan hanya bisa mengumpat pelan.
"Kemarin gue ngobrol banyak sama dia. Gue curhat segala macam dan dia dengerin dengan penuh perhatian. Dia wanita yang benar-benar berbeda," Morgan berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam.
Sejenak, suasana menjadi hening, hanya suara daun yang berbisik ditemani semilir angin pagi. "Buat gue yang nggak pernah ngerasain kasih sayang seorang ibu, ngerasa dia itu... kayak bidadari yang turun dari khayangan. Dia pengertian, manis, dan... ah, susah dijelaskan dengan kata-kata," katanya sambil mendesah, pipinya memerah karena malu.
Iyan menatap datar ke arah Morgan, wajahnya sinis. "Perasaan aku jatuh cinta nggak gini amat," batinnya.
"Hem, apa lo udah ungkapin perasaan lo ke Kak Gresy?" tanya Iyan, sambil menatap Morgan yang tampak gelisah.
"Nggak, gue masih belum berani," Morgan meletakkan kedua lengannya di atas pundak Iyan, mencari dukungan. "Yan, tolongin gue dong, gue pengen ungkapin perasaan tapi gue takut. Gimana caranya?" tatapan Morgan terlihat begitu serius, seolah-olah matanya menyimpan ribuan kata yang tak terucap.
Iyan merenung sejenak, jari-jarinya bermain di helai rambut. "Gimana ya, aku juga bingung?"
"Ayo lah, Yan, lo aja bisa nembak Loren, ayo bantu gue. Itu gimana caranya lo bisa nembak Loren?" tanya Morgan semakin mendesak.
Iyan menghela napas pelan. "Gini ya, kesampingin aku sama Loren. Kak Gresy nggak tertarik ke aku, dia deket sama lo pasti juga ada alasan kan? Nah, nggak usah keburu-buru, pelan-pelan aja deketin hubungan kalian, habis itu beranin buat ungkapin perasaan lo!"
Morgan merenungkan kata-kata Iyan sejenak, sambil menatap langit. "Tapi Yan, gue itu kan cuma anak SMA biasa, sementara Kak Gresy itu wanita karir yang tangguh. Apa mungkin dia mau melirik ke arah gue?"
Iyan mengernyitkan alisnya, tatapannya menajam, menyiratkan sedikit emosi yang terpendam. "Nggak tahu, dulu ada yang bilang ke aku, cowok polos cupu kayak gini pacaran sama ketua geng motor sampai dipukulin lagi."
"Siapa yang bilang gitu?"
"Lo, goblok! Anjing pura-pura amnesia," Iyan tampak semakin kesal mendengar pertanyaan Morgan.
"Maaf, Yan. Gue beneran minta maaf! Tapi keadaannya beda. Loren kan tolol, beda banget sama Kak Gresy." Morgan mencoba menjelaskan, suaranya lembut, mencari pengertian.
Iyan menghela napas singkat, menahan amarah yang mendidih. "Aku pacarnya, bangsat! Pokoknya, lakuin aja dulu. Masalah dia cinta atau enggaknya, pikir nanti. Aku bakal bantu kok, santai aja," kata Iyan dengan nada tegas namun penuh dukungan.
"Tapi, gue masih takut buat ngungkapin perasaan gue," bisik Morgan, suaranya gemetar seperti daun yang diterpa angin.
"Lo bisa kenal sama Kak Gresy sampai curhat ke dia ngomong panjang lebar, itu udah bagus. Aku sendiri nggak bisa kayak gitu," ujar Iyan, sambil memiringkan wajahnya dan terus menatap ke arah Morgan.
Tiba-tiba, sebuah getaran dari ponsel Iyan memecah keheningan. Dia segera membuka dan membaca pesan yang masuk.
Setelah beberapa detik, Iyan menoleh ke Morgan, matanya berbinar. "Morgan, katanya Loren mau ke sini!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...