Langit pagi itu menggantung rendah, kelabu seperti saputangan usang yang diperas air mata. Di pemakaman yang sunyi, di antara deretan nisan yang berdiri bak gigi raksasa, Iyan seperti tertelan oleh kesendiriannya. Tak ada pelukan hangat, tak ada kata penghiburan, hanya hembusan angin dingin yang meliuk-liuk di antara pohon-pohon cemara, seakan ikut meratapi kepergian sang nenek.
Di hadapannya, gundukan tanah merah itu masih segar. Aroma tanah basah, bunga kamboja yang layu, dan mawar segar bercampur baur, menciptakan aroma khas kematian yang menyesakkan dada. Namun, semua itu tak sebanding dengan rasa nyeri yang menggerogoti relung hati Iyan. Ia berlutut, jemarinya gemetar menyentuh permukaan nisan yang dingin, menelusuri ukiran nama yang begitu ia kenal, nama yang selalu ia sebut dalam doa sebelum tidur, nama yang kini telah pergi meninggalkannya sendiri.
"Maafin Iyan, Nek," bisiknya, suaranya tercekat di tenggorokan. "Iyan belum bisa buat Nenek bangga. Makasih udah ada buat Iyan sampai saat ini, maaf Iyan sampai sekarang cuma bisa nangis."
Kehilangan bukanlah hal baru bagi Iyan. Sejak kecil, ia seperti sudah terbiasa menelan pahitnya kehidupan. Namun, kepergian neneknya kali ini, seperti merenggut paksa serpihan terakhir kebahagiaan yang ia miliki. Rasanya seperti terhempas ke dalam jurang gelap tak berdasar, tanpa secercah harapan untuk kembali meraih cahaya.
"Sekarang Iyan harus gimana?"
"Buat apa ada cinta?" gumamnya, lebih pada diri sendiri daripada pada kesunyian yang menyelimuti. Ia mencengkram tanah, tak peduli kerikil tajam yang menancap di kulitnya. "Cuma bikin sakit."
Ironi memang. Baru kali ini, setelah bertahun-tahun ia membangun dinding kokoh di sekeliling hatinya, Iyan membiarkan dirinya merasakan jatuh cinta. Rasanya begitu indah, seperti menemukan oasis di tengah padang pasir tandus. Namun, secepat ia merasakan indahnya cinta, secepat itu pula takdir merenggutnya dengan kejam. Meninggalkan luka yang menganga, dan kepedihan yang seolah tak berujung.
Iyan bangkit, langkahnya gontai. Di usianya yang masih belia, ia merasa begitu lelah. Lelah kehilangan, lelah tersakiti, lelah berusaha tegar di tengah badai kehidupan yang tak pernah berhenti menghantamnya.
Di bawah langit sore yang mulai memerah, Loren berdiri gelisah di seberang jalan. Matanya tak lepas dari gerbang SMA megah tempat Iyan bersekolah. Sudah 20 menit berlalu sejak bel pulang berbunyi, namun sosok yang ia tunggu tak kunjung menampakkan diri. Ia membayangkan Iyan akan keluar dengan senyum ringan di bibirnya, menenteng tas ransel yang selalu tersampir acak di bahunya. Namun, harapan itu kian lama kian menipis, menyisakan gundukan kecemasan di dadanya.
Di antara lautan siswa yang keluar gerbang, sepasang mata menarik perhatian Loren. Sebuah wajah familiar-Kelvin, teman sekelas Iyan.
"Eh, Bang bentar mau nanya," panggil Loren.
Kelvin menoleh, raut terkejut tergambar jelas di wajahnya. "Eh, Loren? Nyariin Iyan, ya?"
"Iya, dia ke mana? Kok nggak keliatan?"
"Nggak tahu, juga. Tadi dia nggak masuk sekolah," jawab Kelvin, nada bicaranya menyiratkan kebingungan.
Seketika, jantung Loren seperti dihantam palu godam. Firasat buruk yang sejak tadi menggerogoti pikirannya, kini berteriak lantang tak terbendung. Seharusnya ia tak lengah, seharusnya ia tak mudah termakan rayuan Morgan semalam.
"Oke, makasih, ya," ucap Loren terburu-buru. Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas memakai helm, menunggangi motornya, dan melesat membelah jalanan ibu kota, menuju rumah Iyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...