Adkins duduk bersila di samping Iyan, matanya menyipit dengan sinisme yang terarah pada Loren.
"Gila tu cewek, sensitif banget pasti dulunya dia anti sosial akut." Adkins berbisik dengan nada kesal, berharap kekesalannya tak sampai ke telinga Loren.
Iyan membalas dengan suara yang lebih lembut, "Kau yang membuatnya marah, Loren itu tegas tapi aku suka itu dia keren." Pipinya merona, sebuah tanda rasa suka yang tak bisa disembunyikan.
Adkins hanya bisa mengerucutkan bibirnya, tangannya menggapai gelas jus yang berada di atas meja, meneguknya dengan rasa kesal yang masih terpendam. Namun, perhatiannya teralih saat matanya tertuju pada wajah Iyan yang nampak berseri.
"Kak itu bekas luka apa di lehermu? Perasaan kemaren malam nggak ada," tanya Adkins, rasa penasarannya terpancar dari sorot matanya.
Iyan tersedak mendengar pertanyaan Adkins. "Ah, bukan apa-apa, ini cuma... bekas nyamuk," jawab Iyan dengan ragu.
Alis Adkins berkerut, seakan-akan dia sedang menyusun kembali potongan-potongan puzzle yang berserakan. "Jangan bilang kau habis...,: ucapnya, namun belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Tepat sebelum Adkins menyelesaikan kalimatnya, Iyan, dengan refleks yang cepat, menutup mulut Adkins, matanya memindai sekeliling dengan ekspresi yang diliputi kecemasan.
Adkins yang tak terima dengan perlakuan Iyan sepontan mengigit lengan Iyan dengan sangat keras. Sontak hal itu membuat Iyan berteriak histeris.
"Aghhhhkk....! Bangsat... aww sakit.." Iyan berteriak, matanya berkaca-kaca menahan sakit.
Di sudut lain, Loren yang terganggu oleh keributan itu, mengepalkan tinjunya di atas meja dengan cukup keras sehingga kucing-kucing yang berada di kafe itu pun berlarian ketakutan, mencari perlindungan.
"Iyan, Adkins, kalian ini benar-benar nggak bisa diam, ya?" Suara Loren membelah ketegangan seperti pisau tajam, matanya menatap tajam dari satu wajah yang merasa bersalah ke wajah yang lain.
Iyan dan Adkins, dengan kepala tertunduk, merangkai kata-kata permintaan maaf yang tercekat di tenggorokan mereka, ditujukan kepada Loren.
"Maaf, Loren...!" bisik Iyan, wajahnya menunduk dan mebenamkan ke dalam kedua tangannya.
"Maaf, kak Loren...!" ujar Adkins, nada suaranya masih tercampur dengan rasa kesal yang belum sepenuhnya reda.
"Lihat, Kak Loren marah, kenapa kau tadi gigit bangsat?" tanya Iyan dengan suara lirih.
"Aku cuma mau nanya apa kalian habis berantem?" balas Adkins dengan nada kesal.
Loren menarik napas dalam-dalam, jemarinya yang gemetar sedikit berhenti saat ia meraih botol mineral di atas meja. Meski selalu dianggap sebagai pribadi yang tenang dan berkepala dingin, kali ini, tingkah laku mereka benar-benar telah menguji kesabarannya hingga ke titik nadir. "Ya ampun, mereka itu... Rafel, tolong aku minta airnya!"
Rafel, dengan senyum yang hampir tak terlihat, memandang Adkins dan Iyan dengan tatapan yang penuh nostalgia. "Bukankah mereka terlihat cukup dekat? Aku nggak pernah lihat Adkins akrab dengan orang dewasa seperti itu sebelumnya."
Loren meneguk air dengan hati-hati, membiarkan kesejukannya menenangkan saraf-sarafnya yang tegang. "Dia itu adikmu ya? Tapi dia nggak mirip sama sekali denganmu?" Tanya Loren.
Tatapan Rafel melembut, dan suaranya melembut saat ia mulak berbisik. "Bukan, dia bukan adik kandungku. Dia muridku di akademi militer, aku mengenalnya sejak SMA. Ayahnya berasal dari keluarga ningrat, dan ibunya, seorang bangsawan Belanda. Tapi, dia anak dari hubungan haram, agak rumit memang," jelasnya dengan nada yang mengandung berbagai lapis makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...