042. killing the Son!

77 3 3
                                    

Jarum jam hampir membentuk sudut siku sempurna ketika Morgan dan Iyan tengah membereskan toko yang sepi malam itu. Hujan deras mengguyur kota malam itu, membuat jalanan lengang dan toko roti tempatnya bekerja sepi pengunjung. Hanya tersisa ia dan Morgan, sahabatnya, yang masih berjibaku dengan meja-meja kotor dan lantai yang basah.

Saat tengah membersihkan salah satu meja dekat jendela, sebuah benda dingin dan licin menarik perhatian Iyan. Sebuah ponsel tergeletak begitu saja, layarnya redup namun masih memperlihatkan sebuah foto yang membuat jantungnya berdesir aneh. Foto Fredrin dan Toka, bahu-membahu, tersenyum lebar ke arah kamera. Kedekatan yang tergambar di sana terlalu menyilaukan untuk diabaikan.

"Morgan, ini hp kakak yang tadi ketinggalan," serunya, sambil mengacungkan ponsel itu.

Morgan melangkah perlahan menghampiri Iyan, matanya menyelidik layar ponsel dengan intensitas yang bisa membakar. "Oh, punya Fredrin. Tinggal ditinggal aja, besok dia pasti ambil sendiri. Yan, lo udah buat laporan belum? Gue pengen cepet pulang!" desak Morgan, nada suaranya mencerminkan kebosanan yang mendalam.

"Belum. Kamu pulang duluan aja, Morgan. Aku nanti pulang bareng Kelvin. Lo pasti udah nggak sabar kan buat chatting sama kak Gresy?" Iyan menghela napas panjang, lelah tapi berusaha tetap fokus pada laporan yang harus diselesaikannya.

Morgan tak bisa menyangkal itu; senyumnya datar, namun matanya menyempit, tidak dapat menyembunyikan ketidaksabarannya yang meluap-luap. "Tahu aja, yaudah deh, gue pulang duluan. Jangan lupa, besok pagi kita jalan-jalan bareng!"

"Oke," jawab Iyan sambil terus menulis laporannya.

Setelah Morgan pergi, Iyan merasakan kesunyian semakin menyelimuti toko roti itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah Morgan pergi, Iyan merasakan kesunyian semakin menyelimuti toko roti itu. Hanya suara hujan yang terus mengiringi pekerjaannya. Iyan meletakkan ponsel Fredrin di meja kasir, lalu kembali fokus menyelesaikan laporan.

Iyan melirik jam dinding, sesekali. Jarum-jarumnya seperti mengejek dengan gerakan lambat dan berulang. Lelah tergambar jelas di wajahnya, namun bukan lelah fisik yang biasa dirasakan seharian bekerja. Ini lebih dari itu. Lelah yang menghujam jiwa, meninggalkan tatapan kosong dan senyum tipis yang terlalu sering ia gunakan untuk menutupi semuanya.

"Kelvin, lama banget," gumamnya lirih, hampir seperti berbisik pada diri sendiri. Jemarinya saling bertaut di atas meja, mencari pegangan di tengah kesendirian yang mencengkeram.

Suara deru mobil memecah keheningan malam. Iyan mengangkat kepalanya, menatap sejenak ke arah pintu toko yang terbuka perlahan. Sosok Fredrin muncul dari balik pintu, raut wajahnya menampakkan sekelumit kepanikan yang tak bisa ia sembunyikan.

"Permisi," Fredrin melangkah perlahan menuju Iyan, langkahnya lebih ringan, seolah berusaha mengusir beban yang menggelayuti hatinya.

Iyan, menyadari kedatangan Fredrin, bangkit dari kursinya sambil meletakkan ponsel yang tertinggal di atas meja. "Kakak, nyari ponselnya ya?" tanyanya, senyum tipis mengembang di wajahnya, meski hatinya terombang-ambing.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang