033. Dapat Nobel?

85 5 0
                                    

Adkins Fritz

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Adkins Fritz

Saat mata Adkins dan Iyan saling bersilangan sejenak. Iyan merasakan sesuatu yang menusuk di dadanya saat melihat Adkins yang duduk di bawah sofa, asyik membaca buku. Wajahnya yang tampan dan cerdas itu seolah mengejeknya, mengingatkannya pada kegagalan dan penyesalannya. Iyan menatap Adkins dengan tatapan dingin, penuh amarah yang terpendam. Namun, Adkins tidak membalas tatapannya. Ia hanya menunduk, seakan tidak peduli dengan kehadiran Iyan. Iyan merasa tersinggung dan kesal. Ia segera mengalihkan pandangannya dan berjalan cepat menuju meja kasir untuk memesan minuman.

Suasana kafe kucing begitu nyaman dan menyenangkan pada siang hari itu. Sinar matahari yang masuk melalui jendela-jendela besar menambah kecerahan ruangan yang sudah penuh warna. Di sekitar sofa-sofa empuk, para kucing menggeliat dan mendengkur dengan damai. Aroma kopi dan kue menyebar di udara, menggoda penciuman para pengunjung.

"Loren, kamu mau pesan apa?" tanya Iyan dengan suara gemetar. Ia berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.

Senyumnya terbentuk dengan lembut di bibirnya saat ia menjawab, "Samain sama kamu aja, terserah!" jawabnya sambil terus menatap Adkins yang sedang duduk di bawah sofa.

"Oke," Iyan mengangguk dan segera memilih pesanan mereka. Ia berharap Loren tidak melihat betapa gugupnya ia.

Sementara itu, Loren mendekati Adkins dengan langkah ringan. Ia terpesona dengan suasana kafe yang estetik dan unik. Ia menatap Adkins dengan mata penuh keingintahuan.

"Adkins, kamu sendirian aja? dimana kakakmu?" tanya Loren, sembari menatap Adkins yang nampak serius dengan bukunya.

Adkins akhirnya mengalihkan pandangannya dari halaman-halaman buku itu, sikapnya yang serius melunak saat melihat mata Loren yang penuh perhatian. "Dia lagi dinas, bentar lagi juga selesai." jawabnya dengan nada datar.

Iyan melangkah mendekati mereka dengan tatapan penuh sinisme. "Jadi kakakmu nelantarin kamu? Pantes dia pasti nggak betah!" sindirnya, mencoba memancing reaksi Adkins.

Namun, Adkins dan Loren sama sekali tidak menggubris Iyan. Mereka masih asyik berbincang-bincang dengan santai.

"Kak Loren, Kak Rafel bilang dia mau bicara hal penting kalau ketemu." Ujar Adkins, ia perlahan melanjutkan tulisannya.

"Oke, ngomong-ngomong, Adkins, apa yang sedang kamu tulis?" tanya Loren dengan rasa ingin tahu.

"Oh ini cuma pelajaran umum. Aku nggak tahu mau ngapain disini," Jelas Adkins.

Iyan, yang penasaran, mengintip dari balik bahu Adkins dengan hati-hati. Matanya terbelalak melihat pemandangan di depannya. "What the fuck, ini tulisan apa? Kayak ceker ayam sumpah jelek banget." Dia spontan merebut buku itu dan menelitinya dengan seksama.

"Hei, balikin catatanku!" Adkins meraung dengan wajah kesal. "Jangan lihat dari penampilannya, kata Kak Rafel ini estetik."

"Estetik? Apanya? Kayaknya kamu harus latihan nulis dasar!" sindir Iyan, sambil mengembalikan catatan itu pada Adkins, ada kilatan nakal di matanya.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang