🛸 🌎 ° 🌙 • .°• 🚀 ✯
🎇 ★ * ° 🛰 °· 🌠 🪐
. • ° ★ • ☄
▁▂▃▄▅▆▇▇▆▅▄▃▁▂Malam itu, seperti kanvas beludru biru tua yang dihiasi taburan bintang, menyapa Iyan dengan lembut saat ia melangkah keluar dari minimarket. Kantong plastik berisi belanjaan menggantung lemas di tangannya, serupa rasa lelah yang tergambar samar di wajahnya. Sejenak, ia mendongak, membiarkan cahaya lampu jalanan yang redup membasuh wajahnya. "Cukuplah untuk tiga hari ke depan," gumamnya lirih, lebih pada diri sendiri daripada pada malam.
Tiba-tiba, siluet familiar melintas di bawah temaram lampu jalan. Jantung Iyan seperti berhenti berdetak, lalu berdegup lebih cepat. "Loren?" serunya tanpa sadar, langsung berlari kecil mengejar sosok itu.
Loren menoleh ke arah Iyan yang berlari mendekatinya, suara lembutnya yang menenangkan menyapa, "Iyan?"
Napas Iyan sedikit tersengal saat ia sampai di hadapan Loren. "Loren, kenapa kau pulang jalan kaki sendiri?" tanya Iyan, nada khawatir terdengar jelas dalam suaranya.
Loren tersenyum tipis, mengibaskan tangan seolah melenyapkan kekhawatiran Iyan. "Apa kau khawatir? Santai aja aku ini cewek paling ditakutin se-kota, mana ada preman atau begal yang berani nyentuh aku."
Iyan memiringkan kepalanya, memandang Loren dengan ragu namun penuh perhatian. "Menakutkan? Loren itu seperti malaikat, aku nggak lihat bagian mana dari Loren yang menakutkan."
Loren hanya tersenyum sambil mengusap lembut rambut Iyan, sentuhan jemarinya serasa membawa ketenangan yang dalam. "Hem, aku lupa kalau kamu itu Iyan. Aku habis dari makam, di Jawa namanya mitung dina, hari ketujuh setelah seseorang meninggal."
Sentuhan Loren di kepala Iyan bagai arus listrik lemah, menyibak kelelahan yang menempel di tubuhnya. Hangat, tak terduga, seperti percikan cahaya di tengah dinginnya malam. "Malem-malem gini? Apa Loren nggak takut ke kuburan sendirian?" tanyanya, nada khawatir tersirat meski ia mencoba terdengar santai.
"Bukan, aku ke makam sore tadi. Cuma motorku mogok, jadi aku tinggal di bengkel," jawab Loren dengan suara yang ceria namun sedikit lelah. "Kamu sendiri habis dari mana?"
"Belaja keperluan aja sih," jawab Iyan.
Loren menunduk, memperhatikan barang belanjaan yang dibawa Iyan. Pikirannya melayang pada masakan pagi yang dibawakan Iyan untuknya-masakan yang jelas dimasak dengan limpahan cinta dan perhatian. "Oh ya, makasih banget buat makanannya. Masakan Iyan enak banget, deh. Kamu tuh jago masak banget, serius!"
Iyan tersenyum lega, "Syukurlah kalau Loren suka. Sebenarnya Kelvin juga bantuin aku masak tadi."
"Oh, temenmu yang brengsek itu!" Loren menyipitkan mata dengan tatapan sinis. "Kalau boleh, aku titip satu tonjokan buat dia!"
Iyan menelan ludah, lalu berkata dengan ragu, "Ehm, dia pasti udah kapok, kok."
Loren hanya menghela napas pelan, rasa kesal masih tersisa di hatinya. "Hemh, kalo gitu aku pulang dulu. Apa Iyan mau mampir?"
"Emh, nggak dulu deh. Aku harus berangkat ke sekolah besok," jawab Iyan.
"Emang sekolahmu nggak libur seminggu?" tanya Loren, alisnya terangkat sedikit.
"Ada acara dari OSIS. Ya aslinya aku nggak mau dateng, tapi besok aku juga ada urusan di kantor," jelas Iyan dengan nada sedikit enggan.
"Oke, kalo gitu aku pulang dulu sampai jumpa." Loren berbalik, melangkah pergi dengan lambaian tangan. Dingin yang biasa menyelimuti dirinya seperti mencair sedikit, menyisakan kehangatan yang hanya Iyan sadari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...