032 Bekas Cupang

120 5 0
                                    

Hujan, bagai sebuah simfoni emosi, menggema semakin kencang, mengiringi irama jantung Loren dan Iyan yang berdetak seirama. Mereka berdiri di tengah-tengah guyuran hujan, menikmati intensitas yang begitu kuat di antara mereka. Udara malam yang lembab membelai kulit mereka, memicu ketegangan yang terasa semakin nyata.

Saat tetesan air membasahi wajah mereka, Loren hanya bisa mengagumi rambut Iyan yang basah kuyup melingkar lembut di dahinya. Matanya, yang memantulkan badai di atas mereka, memiliki kedalaman yang menurut Loren tak tertahankan.

"Iyan, terima kasih, tapi sepertinya kita harus segera kembali ke hotel!" bisik Loren di tengah deru hujan yang memekakkan telinga.

Cengkeraman Loren di pinggang mengendur, dengan berat hati melepaskan pelukanya. Bibirnya melengkung membentuk senyuman sendu, mencerminkan perpaduan antara ketidakpastian dan hasrat yang bergejolak di dalam dirinya.

"Benar juga, kamu ingat kan jalan ke hotel? Kita nggak bisa naik taksi kalo basah begini." Suara Iyan terdengar lembut dan hangat di tengah dinginnya hujan, matanya terus menatap mata Loren dengan penuh perhatian.

"Gampang," perlahan Loren menggenggam tangan Iyan, jemarinya bertautan dengan jemari Iyan. Dengan jantung berdegup kencang, mereka berjalan bersama, menjauh dari pelukan jalanan Malioboro yang basah kuyup oleh hujan.

Akhirnya, mereka tiba di hotel, dengan pakaian yang melekat di tubuh mereka, masih berkilauan oleh tetesan air hujan. Kelelahan bercampur dengan rasa gembira saat Iyan, dengan gigi gemeretak karena kedinginan, bersandar di pintu kamarnya. Kehangatan sekilas dari sentuhan Loren masih terasa di kulitnya, meninggalkan rasa sakit yang hanya bisa ditenangkan olehnya

"Loren, aku mau mandi dulu," ucap Iyan dengan suara serak, bibirnya bergetar, "kamarku nggak dikunci kalau kamu mau masuk!"

Saat pintu kamar hotel mewah itu terbuka, Iyan menghela napas berat, merasakan beban dunia di pundaknya. Tanpa membuang waktu, ia menanggalkan pakaiannya, membiarkannya jatuh ke lantai dalam keadaan kusut. Mencari penghiburan dan mungkin pelarian sesaat, dia menemukan dirinya tertarik ke kamar mandi seperti magnet.

Dengan tangan gemetar, Iyan menyelam ke dalam pelukan uap air di bak mandi, merasakan setiap ototnya menegang karena gejolak batin yang menghantui. Air mengalir di atas tubuhnya, menciptakan simfoni yang menenangkan yang nyaris tidak mampu menutupi gema pikirannya yang berpacu. Pantulan di cermin memperlihatkan seorang pria yang tersesat di dalam dirinya sendiri, merindukan kehidupan normal yang ia jalani di hari itu.

"Hemh ini masih terlalu awal, mungkin aku akan membuat Loren lebih mencintaiku lagi malam ini!" Bisik Iyan perlahan menyadarkan tubuhnya.

Setelah selesai berendam, Iyan keluar dari kamar mandi dengan mengenakan baju tidur yang lembut dan elegan, yang melekat di tubuhnya seperti cahaya bulan yang membelai langit malam. Saat ia mengancingkan kancing kemejanya dengan hati-hati, perhatiannya teralihkan sejenak oleh spinner yang tergeletak begitu saja di atas meja. Perlahan ia mengambil spinner itu sembari membaringkan tubuhnya di atas kasur.

Iyan memutar spinner itu di antara jemarinya dan menatapnya dengan tajam. "Bukankah dia penunggang kuda pertama? Aku sama sekali tak bisa membaca ekspresi dan kepribadian anak itu." Iyan menghela napas pendek sambil membalikkan tubuhnya, tenggelam dalam perenungan. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

Tak lama, pintu kamarnya berdecit pelan, seolah tak ingin mengusik ketenangan yang menyelimuti ruangan. Loren melewati ambang pintu dengan hati-hati, menatap Iyan yang berbaring dengan tenang di atas tempat tidurnya.

Mata Loren tertuju pada Iyan, yang berbaring dengan tenang di atas tempat tidurnya, tidak menyadari bahwa dunia terbangun di dalam kamarnya. Dengan langkah ragu-ragu, Loren mendekat, angin puyuh emosi yang bergejolak di dalam dirinya.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang