Dering bel sekolah yang menusuk telinga beradu dengan derap langkah Iyan yang tergesa-gesa. Ia berlari menyusuri koridor, napasnya memburu, seragamnya sedikit berantakan. Gerbang besi hampir saja tertutup rapat, namun dengan gerakan gesit, Iyan berhasil menyelinap masuk sebelum terlambat. Lega rasanya, namun belum sempat ia menarik napas lega sepenuhnya, suara cempreng dari pengeras suara menggema di seluruh penjuru sekolah.
"Iyan Asora, kelas IX A, segera menuju ruang Bimbingan Konseling. Iyan Asora, kelas IX A..."
"Hedeh!" umpat Iyan pelan. De javu. Rasanya baru kemarin ia dipanggil ke ruang konseling, padahal ia merasa tak berbuat onar. Dengan langkah gontai, Iyan menyeret kakinya menuju ruang konseling, pikirannya dipenuhi tanda tanya.
Pintu ruang konseling terbuka, menampakkan sosok Arcan yang duduk gelisah di kursi, di hadapan Bu Fanny yang menatapnya tajam. Raut wajah Bu Fanny dipenuhi amarah yang tertahan, membuat suasana ruangan terasa mencekam.
"Maaf, Bu. Ada perlu apa memanggil saya?" tanya Iyan dengan nada hati-hati, berusaha meredam gejolak dalam hatinya.
Bu Fanny menghela napas panjang, "Iyan, coba kamu lihat Arcan," ujarnya dengan nada berat. "Badannya penuh memar. Ibu sudah tanya, dan dia bilang kemarin pulang bareng kamu. Iyan, kamu ini mau sampai dikeluarkan dari sekolah baru puas?"
Darah Iyan berdesir. Ia menatap Arcan yang masih menunduk, lalu kembali menatap Bu Fanny dengan pandangan tak mengerti. "Saya nggak ngapa-ngapain Arcan, Bu," jawabnya pelan. Rasa lelah menyergapnya. Ia tahu, apapun yang ia katakan, Bu Fanny tidak akan pernah percaya.
Arcan, yang sudah mencoba menjelaskan, tampak gelisah. Dia tak ingin situasi semakin buruk dan berusaha memberikan pembelaan. "Bu, Iyan nggak salah, Bu. Justru Iyan yang nolongin saya," sergahnya dengan suara bergetar. "Saya berani sumpah, Bu! Tolong, percaya sama saya!"
Melihat kesungguhan Arcan, Bu Fanny tertegun. "Arcan, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi," pintanya dengan nada lebih lembut.
Arcan pun mulai bercerita dengan terbata-bata, menjelaskan kronologi kejadian yang menimpanya kemarin sore. Ia menceritakan tentang sekelompok
anak yang mengeroyoknya, dan bagaimana Iyan datang menolongnya. "Kalau bukan karena Iyan, mungkin saya nggak bisa sekolah hari ini, Bu," ungkapnya lirih.Bu Fanny masih tampak ragu. Ia sudah terbiasa dengan kenakalan Iyan, sehingga sulit baginya untuk langsung percaya. "Arcan, kamu yakin tidak berbohong? Ibu ini sudah hafal betul dengan tabiat Iyan," tanyanya sekali lagi.
Arcan menatap Bu Fanny dengan mata berkaca-kaca, "Saya nggak bohong, Bu. Ibu bisa tanya sama Mama saya. Lagian..." Arcan menggantungkan kalimatnya, lalu berjalan mendekati Iyan dan merangkul pundaknya, "Saya sama Iyan, sudah jadi teman dekat, Bu."
Pernyataan Arcan bagai petir di siang bolong. Iyan tercengang, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Bu Fanny pun tak kalah terkejut. Ia menatap Iyan dan Arcan bergantian, seolah mencari kebenaran di balik tatapan mereka.
Iyan hanya bisa tersenyum kecut, sementara Arcan masih setia merangkul pundaknya. Bu Fanny menghela napas panjang, "Ya sudah, Ibu minta maaf karena sudah berprasangka buruk. Tapi, kalian berdua tetap dapat hukuman karena terlambat masuk kelas!"
"Tapi, Bu?" Iyan protes.
"Nggak ada tapi-tapian!" potong Bu Fanny tegas, "Arcan, push up 30 kali. Iyan, 80 kali!"
"Hah? 80 kali, Bu?" Iyan melotot.
"Mau protes?" Bu Fanny mengangkat alis.
Iyan langsung ciut. Dengan wajah masam, dia mulai melakukan push up. Arcan yang melihatnya hanya bisa menahan tawa.
Selesai dihukum, Iyan dan Arcan berjalan beriringan menuju kelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...