IYAN 📸
Akhir musim panas di bulan September, menandai empat tahun kepergian Iyan dari kehangatan rumah keluarga. Awalnya, ia membayangkan kehidupan SMP sebagai siklus monoton antara buku dan kamar tidur. Ah, betapa naifnya ia kala itu.
Alih-alih menjadi primadona sekolah dengan wajah rupawan dan otak encer, Iyan justru bereinkarnasi menjadi momok bagi seisi sekolah. Rambutnya yang seputih salju, kulit sehalus porselen, dan sorot mata birunya yang seteduh samudra, seharusnya menjadi magnet popularitas, namun berbalik menjadi kombinasi mematikan dengan reputasinya sebagai juru pukul nomor satu. Hampir setiap hari, selalu ada siswa yang pulang dengan hidung babak belur atau badan penuh lebam berkat ulahnya.
Puncaknya, saat ia masih duduk di kelas 8, lima kakak kelas berakhir di rumah sakit setelah berurusan dengannya. Reputasinya pun tercoreng abadi. Bahkan di awal semester kelas 9 ini saja, ia sudah enam kali mondar-mandir ke ruang konseling.
Di ruangan beraura dingin beraroma penyejuk ruangan, Iyan duduk berhadapan dengan Bu Fanny, guru muda yang senantiasa diuji kesabarannya. Dengan gerakan lelah, Bu Fanny menggaruk rambutnya, tatapannya sarat dengan campuran frustrasi dan keprihatinan. Sebagai guru BK sekaligus wali kelas Iyan, hampir setiap minggu ia bertemu Iyan di 'ruang penebusan dosa' ini.
"Iyan, kamu tahu nggak poin pelanggaran kamu di kelas sembilan ini udah berapa?" tanya Bu Fanny, suaranya lelah.
Iyan berpikir sejenak, berpura-pura linglung. "Ehm, berapa ya, Bu? Nggak ingat."
"Astaga, Iyan! Udah 80 poin! Kamu tahu kan, 20 poin lagi kamu bisa dikeluarkan dari sini?!" seru Bu Fanny, napasnya terengah. Meskipun gemas bukan main, Bu Fanny tak mampu menutup mata pada potensi yang dimiliki Iyan. "Sayang banget, Yan. Kamu itu pintar, prestasi juga bagus. Masa depanmu masih panjang. Tapi tolong perbaiki sikap kamu! Ini udah hampir ujian tengah semester, kamu di kelas sembilan nggak lama loh!"
"Iya, Bu, maaf," gumam Iyan tanpa penyesalan sedikit pun. "Habisnya, mereka duluan yang mulai."
"Alasan itu lagi! Sudahlah, suruh kakak kamu datang besok!"
"Tapi, Bu, itu nggak mungkin. Lagipula, kakak aku juga nggak bakalan mau datang." Kenangan akan insiden lima kakak kelas itu kembali berputar di benaknya. Saat itu, sahabatnya, Fredrin, yang datang membereskan kekacauan yang ia buat.
"Hemh, ya udah. Kapan-kapan biar Ibu temui kakakmu secara langsung. Kamu beruntung waktu itu ada saksi dan CCTV jadi kamu nggak dikeluarkan dari sekolah. Ibu tahu Iyan itu kuat, Iyan itu dari keluarga yang berpengaruh. Tapi Iyan harus jaga sikap." Bu Fanny berkata dengan nada yang lebih lembut, seolah mencoba mengingatkan Iyan tentang tanggung jawabnya.
Iyan hanya bisa terdiam. Hatinya terasa panas, dipenuhi campuran kekecewaan, kemarahan, dan sedikit rasa takut.
Bu Fanny perlahan berdiri, mendekat ke arah Iyan. Jari-jarinya lembut mengusap rambut anak lelaki itu, "Kalau Iyan terus-terusan kayak gini, enggak akan ada yang mau temenan sama Iyan. Coba mulai hari ini, akur sama yang lain. Jangan bikin masalah lagi, ya! Ya udah, kamu boleh balik ke kelas sekarang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...