Setelah malam yang menegangkan Loren menutuskan untuk selalu berada di sisi Iyan. Dia tahu bahwa Iyan memiliki kehidupan sendiri, tetapi dia tidak sanggup membayangkan kehilangan Iyan.
Setelah bergelut dengan pikiranya Loren memutuskan untuk megenalkan Iyan pada kelurga geng motornya. Ia tahu bahwa membawa Iyan ke dalam dunia malam bukanlah hal yang benar, namun lebih baik dari pada membiarkanya di mangsa dunia luar. Dia tahu bahwa waktunya telah tiba untuk membuat pilihan, sebuah keputusan yang dapat mengubah hidup mereka selamanya.
Loren menggigit bibir bawahnya, matanya tak berkedip memandangi Iyan yang tengah bersiap. "Iyan beneren, kamu mau berangkat sendiri?"
"Jangan khawatir, Loren, aku ini cowok kuat! Aku pergi!" Iyan melambaikan tangan dan melangkah keluar dari rumah Loren. Ia berusaha menunjukkan ketenangan yang tak sepenuhnya dia rasakan.
Loren mengaktifkan ponselnya, saat setelah Iyan keluar dari rumahnya. "Riyan, malam ini adakan pertemuan dan semua divisi harus hadir tanpa terkecuali."
Iyan melangkah dengan hati-hati, meninggalkan rumah Loren di belakang. Tangannya masih sedikit gemetar, ingatan tentang malam tadi masih terasa begitu nyata. Ia merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk, mimpi buruk yang mengerikan namun terasa begitu nyata. Ia mencoba menepis semua rasa takut dan keraguan itu, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Ia menghirup udara pagi yang segar, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia berjalan dengan kepala tegak, mencoba untuk menunjukkan kepercayaan diri meski hatinya berdebar kencang.
Tiba-tiba, sebuah sosok dengan seragam SMA yang sama dengannya muncul di sampingnya.
"Eh, permisi, apa kau juga sekolah di SMA 3?" Iyan menghampiri gadis itu dengan senyum yang agak kikuk.
Gadis itu menoleh, matanya mengamati Iyan dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukannya dia cowok nggak jelas kemarin ngapain dia di sini? "Ohh, cowok yang kemarin siang itu, ya? Siapa namamu...?" tanya gadis itu, nada suaranya datar, mencoba bersikap ramah, meski dalam lubuk hatinya, ia sama sekali tak tertarik dengan kehadiran pemuda itu.
"Iyan, namaku Iyan Asora dari kelas 11 IPS 2." Jawab Iyan, sedikit terhambat oleh rasa ragu yang muncul saat berhadapan dengan seseorang baru.
"Oh, aku Yura dari IPS 6," jawabnya singkat. "Apa kamu pendatang baru, ya? Aku nggak pernah lihat kamu lewat sini?"
"Oh, bukan. Aku semalam nginap di rumah pacarku," jawab Iyan dengan polosnya.
Yura menghentikan langkahnya, terkejut dengan apa yang baru saja dia dengar. "Pacar..? Nginap...?" ulangnya dengan nada tinggi. Dia tidak percaya bahwa cowok di depannya sudah berani melakukan hal-hal seperti itu.
"Ehhh, maksudku aku cuma, itu pas ada—" Iyan bingung mencari alasan. Dia menyadari bahwa dia baru saja membuat kesalahan besar.
Yura menatap Iyan dengan sinis dan risih. "Gila cowok jaman sekarang mainnya di rumah ceweknya. Pantes badan lo memar-memar gitu, pasti ceweknya brutal pas di ranjang."
"Apa....?" Wajah Iyan memerah mendegar apa yang baru saja gadis itu ucapkan.
"Dahlah cowok jaman sekarang emang bangsat semua ...!" Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Yura dengan cepat berjalan ke depan, meninggalkan Iyan yang kebingungan di belakangnya. Dia merasa jijik dengan cowok yang baru saja ia temui.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...