Melihat reaksi Adkins, tawa Loren memenuhi udara, matanya berbinar-binar karena geli. Dia mengamati Adkins dengan saksama, mengamati campuran lucu antara kekesalan dan keteguhan hati yang menghiasi wajah bocah itu.
"Adkins, kau kelas berapa sekarang?" Tanya Loren, sedikit senyum tersungging di bibirnya.
"Kelas enam..!" Jawab Adkins dengan nada kesal.
"Lalu, apa cita-citamu?" tanya Loren lagi, seolah-olah ingin mengorek lebih dalam rahasia bocah itu.
"Rahasia, aku punya banyak mimpi dan aku punya rencana yang nggak perlu orang lain tahu!" Adkins menjawab dengan tegas, tatapannya berubah menjadi dingin saat ia mengarahkan pandangannya ke jalan yang ramai.
"Sok keren banget ini bocah! Lagian, nggak penting juga hidupmu buatku!" Sindir Iyan dengan tatapan sinis.
Adkins memilih untuk bungkam, pikirannya terhanyut pada arus manusia yang berlalu-lalang. Dengan sorot mata tajam dan hampa, ia mulai meneliti kehidupan di sekelilingnya. Dia merasa sepi dan terasing, seperti sebuah bintang yang jatuh dari langit dan tersesat di antara debu-debu kota.
Tak lama kemudian, seorang pemuda dengan es krim vanila berjalan menghampiri mereka dengan langkah perlahan, matanya tertuju pada Adkins dengan tatapan tanpa ekspresi. Hanya kedipan mata yang memecah topeng ketidakpeduliannya.
"Adkins, kau di sini!" Pemuda itu menyapa dengan nada monoton.
Adkins menengadah ke arah pria yang berdiri di hadapan mereka. "Kak Rafel, dari mana aja? Aku hampir satu jam di sini!" Dia mengomel dengan nada kesal.
"Mau balik sekarang nggak?" tanya Rafel. Dia tidak menjawab pertanyaan Adkins, hanya menawarkan pilihan.
Adkins mengangguk dengan penuh semangat dan segera bangkit dari kursinya, mengikuti langkah Rafel. Saat mereka berjalan pergi, Rafel menoleh ke arah Loren, sambil tersenyum sinis. "Makasih Loren udah jaga adikku!"
Adkins berbalik untuk mengucapkan selamat tinggal pada mereka. "Sampai jumpa kak Iyan, makasih udah nemenin!"
Iyan dan Loren saling bertukar senyum dan melambaikan tangan pada Adkins, menyaksikannya perlahan-lahan menghilang di kejauhan. Rasa penasaran muncul di mata Iyan saat ia mengernyitkan alis ke arah Loren.
"Loren, itu bocah, absurd banget sumpah!" Iyan mengeluh dengan nada heran.
"Kenapa dia lucu, apa kau cemburu? Aku cuma bercanda tadi."
"Hemh, aku agak nggak suka sama kepribadiannya, aku sama sekali nggak paham sama sikapnya!" Ungkap Iyan, ia masih terbingung dengan anak yang baru ia temui tadi.
"Ok, kita lanjut jalan-jalan gimana? Kali ini kita gandengan erat, aku nggak mau kamu ngilang lagi!" Ajak Loren, segera ia berdiri sembari menarik lengan Iyan dan mengenggamnya erat-erat.
Merekapun melajutkan perjalanan yang penuh keakraban, seakan melupakan apa yang telah terjadi. Mereka berkeliling mencoba berbagai hal yang ada di sekitar jalanan yang padat. Tawa dan canda di sekitar mereka mengisi udara malam yang dingin. Jalanan terasa semakin sesak, udara malam semakin tak stabil dengan selimut awan kelam yang mulai menebal menutup rembulan. Cahaya lampu-lampu kota menjadi satu-satunya penerang di kegelapan.
Saat mereka menyusuri setiap sudut jalan, perhatian mereka mulai teralihkan oleh pertunjukan seorang gadis dengan biola yang menyihir nada dengan sangat memukau. Sebuah simfoni yang mengalir dalam keramaian malam, seolah mengajak mereka untuk berhenti sejenak dan menikmati keindahan musik.
Loren dan Iyan berhenti untuk sejenak menikmati melodi dari biola gadis itu.
Mata Iyan memancarkan gemerlap kekaguman saat ia menatap bagaimana kepiawaian violinis dalam mengayunkan melodi yang mampu mengetarkan jiwanya. Ia merasakan sesuatu yang aneh di dadanya, sesuatu yang hangat dan nyaman. Ia menoleh ke samping, melihat Loren yang juga terpesona dengan pertunjukan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...