021. Berhenti berharap darinya!?

94 7 0
                                    

🍀Siapin mental jaga emosi kalian di chapter ini🍀

🍀Siapin mental jaga emosi kalian di chapter ini🍀

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kelvin🍪

Jam kelas hari itu berakhir dengan bunyi bel yang menggelegar. Hampir semua siswa bergegas keluar dari kelas dan meninggalkan lokasi sekolah. Namun, Iyan masih menunggu dengan tidak sabar di depan kamar mandi, kekesalannya terlihat jelas di wajahnya.

"Vin, cepetan! Nanti aku bisa terlambat masuk kerja, yang lain juga udah pada pulang." Desak Iyan dengan kesal.

Dari dalam kamar mandi, Kelvin menjawab "Bentar, baru tigapuluh menitkan, perutku sakit banget."

"Udah gue bilang jangan kebanyakan makan geprek kantin! Hedeh pecandu emang susah di omongin. Itu ayamnya udah basi, cabe rawitnya udah berjamur, sambelnya udah beracun. Lo mau mati ya?" Iyan berbisik kesal, sembari menghela nafas singkat.

Akhirnya, setelah sekian lama, Kelvin keluar dari kamar mandi sambil memegangi perutnya. Wajahnya pucat, keringat bercucuran, dan napasnya tersengal-sengal. Dia seperti baru saja lolos dari maut. Mereka bergegas berjalan keluar dari gerbang sekolah. Saat sinar matahari mulai mendung dan grimis mulai terasa di sekitar mereka. Angin kencang berhembus, membuat rambut mereka berterbangan.

Saat mereka berjalan menyusuri jalanan yang sepi, Iyan menoleh ke arah Kelvin, rasa ingin tahunya terlihat jelas di wajahnya. "Hei Vin, gimana menurutmu tentang Zayen? Dia berteman dengan kita cukup lama. Tapi dia menyebunyikan sifat aslinya selama ini, tapi apa alasanya berterus terang dengan kita?" Tanya Iyan.

Kelvin, sambil berpikir keras, menjawab, "ya, aku sebenarnya ga tahu, karena lo belum jelasin yang terjadi barusan. Tapi dari pengalamanku, seseorang yang menyembunyikan sesuatu terlalu lama tidak akan pernah bisa menemukan kedamaian yang sejati kecuali mereka menghadapinya. Mungkin Zayen punya alasan yang kuat untuk menyembunyikan jati dirinya, tapi itu tidak adil untuk dia dan kita."

Iyan mendongak ke arah matahari yang mulai tertutup awan hitam. "Ya, mungkin jika untuk bertahan hidup apa salahnya bukan?"

"Hemh," saat mereka berjaln Kelvin mulai merasakan sesuatu yang jangal. "Eh Yan, surat ibu gue kayanya masih ketinggalan di kelas!"

"Hah, yang bener coba periksa liontin lo dulu." Kata Iyan menatap Kelvin dengan sedikit khawatir.

"Oke...," perlahan Kelvin melepas kalungnya, dan membuka isi liontin tersebut. "Ngak ada, apa jatuh di wc?"

"Hmh, coba cari di laci kelas mungkin tadi lo lupa masukin kertasnya." Kata Iyan.

"Oke, aku balik kelas dulu, Iyan dulan aja nanti habis pulang kerja langsung mampir rumahku....!" Kata Kelvin perlahan ia berlari menuju gerbang sekolah.

"Astaga, meding gue buruan pergi kerja ini udah hampir hujan....!" Gumam Iyan.

Di sisi lain, di sebuah pemakaman yang ditelan oleh kabut dan tangisan. Loren berdiri di tengah-tengah kuburan-kuburan yang telah menjadi saksi bisu dari kehidupan yang terenggut. Udara terasa sesak dengan campuran emosi yang terluka dan aroma bunga-bunga yang layu. Saat angin berbisik di antara pepohonan, angin membawa beban kesedihan Loren yang tak tertahankan.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang