023. Tak sekuat dirimu

90 8 0
                                    

Keheningan dan kebingungan menyebar ke seluruh ruangan, udara terasa pekat dengan firasat yang tak terucapkan. Iyan berdiri di tengah, tangannya gemetar sambil menggenggam erat ponselnya.

"Udah pulang Vin?"

Ada jeda sejenak di ujung telepon sebelum Kelvin menjawab dengan suara serak dan terengah-engah, "Gue masih di sekolah."

Jantung Iyan berdegup kencang, pikirannya langsung melayang pada skenario terburuk yang mungkin terjadi. "Vin, kau kenapa?" desaknya dengan cemas, merasa ada hal buruk yang terjadi.

"Badan gue remuk, nggak bisa gerak, gue masih di toilet." Perlahan suaranya semakin melemas dan kesadaran Kelvin mulai kabur.

Iyan semakin panik, "oke tunggu, aku kesana....!" Segera Iyan mematikan ponselnya.

"Ada apa, Yan?" Morgan menyela, kebingungan tergambar di wajahnya saat ia melihat tingkah Iyan yang panik.

"Temen ku dia belum balik, nggak tahu kayanya dia ada masalah serius." jawab Iyan, suaranya mendesak. Ia bisa merasakan beban kekhawatiran yang menekannya, mendesaknya untuk bertindak cepat. "Kalian berdua ada yang bisa anter aku ke gerbang sekolah?" Tanya Iyan dengan nada mendesak.

"Terus siapa yang jaga toko?" Tanya Morgan.

Iyan menggeram, "hari ini setok rotinya hampir habis jadi nggak masalah tutup sekarang!"

"Tapi kan masih ujan," Morgan menoleh ke jendela.

Iyan menghela nafas sembari memetik jarinya. "Dah terang!"

Morgan dan Arya menatap Iyan dengan sinis. "Morgan, meding kita turutin ini anak agak setres," bisik Arya dengan lirih.

"Dia kayaknya emang cinbuyu akut." Morgan menghela napas sembari beranjak dari kursinya. "Ya udah sekalian gue anter pulang!"

"Aku kok trauma ya!" Iyan berbisik sambil menjatuhkan pandangannya. Dia ingat saat Morgan menghajarnya dengan brutal di tengah jalan.

"Barenggye aja, nggak usah takut!" Arya menepuk bahu Iyan.

"Oke..." Iyan mengangguk.

Segera Iyan berberes dan menutup toko. Dan segera mereka menuju sekolah yang Iyan tujukan. Hujan di sekitar jalan mulai reda, meninggalkan aroma manis aspal basah seolah mengucapkan selamat tinggal pada mereka. Setiap meter yang dilalui membawa mereka lebih dekat ke sekolah yang telah Iyan arahkan.

Setelah beberapa menit perjalanan, mereka akhirnya sampai di sekolah yang Iyan maksud. Sekolah itu sudah sepi, tidak ada satu pun orang yang terlihat di sana.

Tanpa ragu-ragu, Iyan melompat turun dari motor dan mendekati pintu gerbang, tangannya menggenggam erat jeruji besi yang basah. "Apa udah di kunci?" Tanpa pikir panjang Iyan langsung memanjat gerbang sekolah setinggi 3 meter tersebut.

Dengan susah payah, ia mencoba menginjak satu per satu besi gerbang yang licin.

Morgan, yang masih mengatur nafasnya setelah perjalanan yang mendebarkan, menatap Iyan dengan datar sebelum ia tersadar. Matanya membelalak, dan seringai datar tersungging di wajahnya. Dia melihat sesuatu yang membuatnya tidak percaya.

"Ini nggak di kunci, tolol...!" Kata Morgan sembari perlahan mendorong gerbang tersebut, yang ternyata bisa dibuka dengan mudah.

Iyan, yang sudah setengah jalan memanjat gerbang, mendengar suara Morgan dan menoleh ke bawah. Dia melihat gerbang itu terbuka lebar, dan Morgan yang menatap sinis padanya.

Iyan terkejut, ia merasa seperti orang bodoh yang baru saja tertipu. Dia berusaha turun dari gerbang, tapi kakinya tergelincir dan dia terjatuh ke tanah dengan keras.

Katalisator Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang