GRESY
Bandung, 20.30 WIB.
Di pojokan toko roti yang kian terbenam dalam kesunyian, desiran mesin espresso berdengung lembut, mengalun bak simfoni yang menenangkan. Morgan, terasing dalam kesendirian, duduk di meja kasir yang terpencil, siluetnya bergerak-gerak di atas permukaan kaca, sementara jemarinya bermain dengan latte dingin yang terabaikan. Cahaya neon yang keemasan menyelimuti ruangan, menciptakan bayangan panjang yang merayap dan menyentuh dinding, menambahkan nuansa melankolis pada suasana hari itu.
Di luar sana, dunia terus berputar, acuh tak acuh terhadap gelombang emosi yang menggulung dalam dada Morgan saat matanya yang sayu menatap ke luar, ke dalam kehampaan, pikirannya diganggu oleh bayang-bayang kehidupan yang terlewatkan.
"Apa kak Gresy nggak dateng lagi ya? Kemarin rame banget, aku sampai nggak sempat ngobrol sama dia," sebuah suara lembut bertanya, memecah kesunyian.
"Aku aslinya depresi banget pengen nangis! Dulu, gue masuk geng motor cuma karena pengen dapet perhatian cewek yang ternyata nggak pernah hargain perjuangan gue yang tolol ini."
"Ahh, kalo dipikir-pikir emang goblok banget," sembari menekan meja kasir dengan frustrasi, pandangannya jatuh ke lantai, napasnya terhela dalam.
"Gue pikir gue bakal jadi keren masuk geng motor, tapi kenyataannya, gue tolol. Semua gara-gara dendam, hidup gue jadi berantakan kayak gini."
Tak berapa lama kemudian, pintu toko roti itu berdecit terbuka, dan suara langkah kaki yang lembut bergema di ruangan yang semakin tenggelam dalam keheningan malam. Namun langkah-langkah yang teredam itu tak mampu menarik perhatian Morgan yang tengah tenggelam dalam lautan emosinya sendiri.
"Morgan, aku mau beli croissant satu, sama cokelat panas!" suara lembut wanita itu mengalun, memecah lamunan Morgan.
Morgan, yang terkejut, tersentak dari lamunannya, seolah terbangun dari mimpi. Dia menatap sosok di hadapannya, wanita karir yang selalu tampak begitu anggun dan menawan, yang kini berdiri dengan aura yang memikat.
"Kak Gresy maaf, aku agak ngalamun. Tadi cokelat sama croissant ya? Sebentar ya, aku buatkan cokelat panasnya," suaranya bergetar sedikit karena kejutan dan kegembiraan yang tiba-tiba.
Dia bergegas ke dapur, tangan-tangannya cekatan menyiapkan pesanan Gresy, hatinya berdebar tidak karuan. Setelah beberapa saat, Morgan kembali dengan nampan di tangan, berjalan menuju sudut meja tempat Gresy menunggu dengan sabar.
"Ini, Kak Gresy...!" serunya dengan senyum yang manis, sembari meletakkan piring dan cangkir di atas meja.
"Terima kasih," balas Gresy dengan suara yang lembut, matanya bertemu dengan Morgan dan tersenyum, sebuah pertukaran kehangatan yang sederhana namun penuh makna
Pipi Morgan bersemu merah, dan dengan hati yang berdebar, ia memberanikan diri untuk duduk di sebelah Gresy. "Apa kakak libur kerja? Tumben kesini pas malam gini," Morgan, mencoba memulai percakapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...