Suara senandung pagi, yang cukup merdu, terdengar dari kamar Morgan. Dia berdiri di depan cermin sambil merapikan rambut dan pakaiannya. Rona cahaya pagi yang membelai wajahnya menambah ketegangan di dalam dirinya. Tak bisa ia menghilangkan rasa gugup yang berdebar-debar di perutnya, seperti kupu-kupu yang gelisah menari di dalam sangkar.
"Astaga," gumam Morgan pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada bayangan di cermin. "Gue itu aslinya ganteng banget, kira-kira tipe cowok kayak gimana ya yang kak Gresy suka?" tanya Morgan pada dirinya sendiri, kemudian ia melirik ke arah jam di ponselnya yang masih menyala.
"Udah setengah sepuluh, aku mending cepat berangkat kerja!" Morgan segera bergegas keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju meja pintu keluar di meja tamu sambil mengambil sepasang sepatunya.
Tak lama Arya keluar dari kamarnya setelah sepanjang hari ia mengurung diri di tempat itu. Tatapan seakan menatap Morgan hanya dengan wajah datar.
"Kau mau, kerja lagi, Morgan?" tanya Arya.
Morgan melirikan mata sembari mengikat tali sepatunya. "Iya," jawabnya, suara lembut. "Kita nggak bisa terus-terusan mengandalkan uang tabungan kak Deren. Lagipula, liburan ini bisa kita manfaatkan, kan?"
Arya menghela nafas. "Hemh, gue mau pergi keluar sebentar," ucapnya perlahan, lalu berjalan menuju pintu tanpa menunggu tanggapan Morgan.
"Arya," ucap Morgan dengan nada yang mengandung kekuatan sekaligus kelembutan, "mulai sekarang, panggil aku 'kakak', ya! Karena cuma aku yang kau punya, jadi mulai sekarang harus lebih dengerin aku, kau paham?"
"Hmm," gumam Arya, matanya hanya melayang sejenak sebelum ia melanjutkan langkahnya, seolah-olah kata-kata itu hanyalah angin lalu.
Morgan mengerutkan alisnya, sebuah kerutan yang mencerminkan kekhawatiran yang mendalam. "Dengarin aku, jangan main sampai larut malam, seenggaknya sore sudah ada di rumah!"
Namun, Arya, dengan langkah yang semakin menjauh, tidak menggubris seruan hati Morgan. Dia melangkah keluar dari rumah, meninggalkan kata-kata yang tak terucapkan tergantung di udara yang dingin.
Morgan menghela napas, berat dan penuh kepasrahan. Matanya tertumbuk pada foto yang terpampang di dinding-sebuah kumpulan geng motor yang pernah memberinya kenangan yang tak terlupakan. Di tengah kehidupan jalanan yang pahit, harapan yang telah padam dari geng motor itu kini terpatri jelas dalam ingatan Morgan.
"Apa pun yang terjadi, aku harus menghadapinya," bisik Morgan pada dirinya sendiri. "Aku sudah dewasa, aku harus bertahan hingga akhir. Udah saatnya aku mulai hidup dengan lebih baik." Perlahan ia bangkit dari sofa dan melangkah keluar rumah dengan beban yang terasa di setiap langkahnya.
•••○0○•••
Sementara itu di bawah langit yang terbakar oleh cahaya matahari yang hampir mencapai zenitnya, Iyan melangkah melewati deretan rumah yang terhampar di perumahannya. Tatapannya kosong, terhanyut dalam lamunan yang menjadi teman setianya setiap hari. Langkahnya terhenti, seolah ada benang tak kasat mata yang menariknya untuk berhenti tepat di depan gerbang rumahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katalisator
Teen FictionBagaimana rasanya memiliki gerd, tapi kalian malah setiap hari minum kopi? Tapi, ini bukan tentang kopi! Ini tentang pilihan, tentang konsekuensi, tentang bagaimana sebuah pertemuan kecil bisa mengubah segalanya. Kisah ini bercerita tentang Iyan, re...