"The Wedding"

890 67 14
                                    




"Aku sendiri, semakin merasa sendirian, meski telah terbiasa namun rasanya benar-benar berbeda. Sunyi dan perih ku rasa, hening mendekap dan menyesakkan, langkahku pun terasa tak tertapak, bibirku terkatup rapat bahkan teramat sulit kala menelan saliva. Apakah ini menjadi awal kehancuranku, lagi?"



















Dentingan jarum jam terdengar seakan mengejek, pada seseorang yang tengah menikmati kesakitan dalam hidupnya. Air mata yang enggan berhenti mengalir, dengan isakan pilu yang teramat menyakitkan, di dalam sebuah kamar, ia terduduk di bawah ranjang, menyandarkan punggungnya dengan kepala yang tertunduk dalam.

Kemeja putih yang bertengger di badannya terlihat berantakan, rambut cepak rapihnya pun kini acak-acakan. Gadis itu berulangkali menampar wajahnya guna meyakini bahwa ini semua hanya mimpi yang akan segera berakhir dan membangunkannya.

Titan memejamkan mata sesaat, menoleh menatap layar ponselnya yang berulang kali berdering. Ia meraih ponsel tersebut kemudian melemparkannya hingga membentur dinding dan seketika mati. Nafasnya terengah, dan kembali menampar wajahnya.

"A-nin hiks.."

Tangannya terangkat meraih sebuah bingkai foto diatas nakas. Foto dirinya dan Anindita yang notabene nya adalah pemilik hatinya.
Dengan mata terpejam, titan mencium bingkai foto tersebut, tubuhnya perlahan jatuh dan berbaring di bawah ranjang dengan kedua tangan yang mendekap erat bingkai foto tersebut di dadanya.

"B-berbahagialah a-nin  " Gumamnya dengan air mata yang mengalir deras meski kedua matanya tertutup rapat.






























"Hah.. hah.. hah..  "

Deru nafas terengah-engah, seseorang dengan riasan yang berantakan juga gaun putih yang semakin acak-acakan. Orang-orang menatapnya heran namun tak sama sekali ia hiraukan, gadis itu melanjutkan kembali langkah cepatnya seraya sedikit berlari. Suatu tempat menjadi tujuannya, air mata pun betah mengalir dari kedua matanya.


Ting!

Pintu lift terbuka, ia kembali berlari dengan kedua tangan yang menahan gaun agar tak menghalangi langkahnya. Hingga kedua kakinya terhenti tepat di depan sebuah pintu, ia masih berusaha mengatur nafasnya yang terengah, peluh bercucuran di wajah cantik yang kini berantakan oleh riasan yang luntur.
Tangan kanannya terangkat perlahan, telunjuknya mulai menekan beberapa tombol yang berada di bawah kenop pintu.

tit.. tit.. tit..

Ceklek!

Pintu terbuka, gadis itu terdiam kemudian memejamkan mata sesaat seraya menggigit bibir bawahnya, menahan isakan.
Kaki kanannya terlebih dahulu melangkah perlahan diikuti kaki kirinya.

Gelap, sunyi, hancur, berserakan layaknya sebuah ruangan yang di porak porandakan angin topan.
Pecahan kaca berserakan di setiap sudut lantai, sofa nyaman disana terjungkal, tirai lebar pun terlihat robek separuhnya.
Monster macam apa yang telah menyerang ruangan ini?
Ia menoleh kearah satu-satunya kamar disana, pintu kayu bercat putih itu sedikit terbuka.

Dengan penuh ke hati-hatian, langkahnya maju menuju kamar tersebut.
Tangannya mendorong pintu kayu itu perlahan dan membekap mulutnya dengan telapak tangan.
Sama halnya dengan ruangan tadi, kamar ini begitu berantakan dan gelap.
Tatapannya jatuh pada sesosok raga yang tergeletak meringkuk di bawah ranjang.

"B-biru.. "  Suaranya bergetar dan terbata parau menunjukkan kesakitan.

Tergesa, gadis itu berlari masuk dan langsung bersimpuh di hadapan tubuh gadis yang entah ia tak sadarkan diri atau hanya tertidur lelah.

JINGGA BIRU (GxG) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang