2. The Oath

28.3K 2K 346
                                        


"Sudah seminggu wanita gatal itu berada di istana!" gumam Mirela seraya mengepalkan tangannya erat, "sialnya karena berada di tubuh bocah sepuluh tahun orang-orang jadi meremehkan seluruh ucapanku, aaaarghh sebal!"

Berbekal pena tinta celup jaman dahulu Mirela menulis segala hal tentang Yohan dan Lana dalam sebuah buku supaya nanti saat Matteo beranjak dewasa, anak itu bisa mengenal orang tuanya sendiri walau hanya melalui tulisan.

"Setidaknya si Mirela ini tahu cara menulis, aku masih beruntung!" serunya bersemangat memenuhi seratus lembar buku dengan kisah Yohan dan Lana berdasarkan alur novel yang dibacanya supaya Matteo tidak salah paham nantinya sebab dari awal firasatnya tentang Narnia sangat negatif.

"Katanya sih tidak baik menilai orang dari penampilan, tapi wanita itu..." Mirela menggeram kesal mengingat ekspresi angkuh yang Narnia tunjukan seolah langsung menempatkan dirinya dengan gelar tertinggi begitu menginjakkan kaki ke istana dan mengusir pelayan bocah sepertinya. "WANITA JAHATTTT!"

"Mengapa kau berteriak di tengah hari?" Celetuk Calix langsung memandang ke arah buku yang Mirela tulis. "Dan apa--"

"BUKAN APA-APA!" seru Mirela bergegas memeluk buku tersebut ke dadanya.

"CALIX-KU MAAFKAN AKU, MAAFKAN ISTRIMU YANG TELAH BERSIKAP KASAR PADAMU, TAPI TETAP TIDAK BOLEH!" lanjut Mirela berseru dalam hati sambil melotot ke arah Calix, membuat pria itu bergidik ngeri menatap bocil kematian di hadapannya.

"Aku juga tak tertarik." Ujar Calix disertai hela nafas berat, "ada hal yang perlu kau ketahui tentang bibimu, Claire."

"Bibiku Claire?" seraya mengingat-ingat, Mirela menatap lekat ke arah wajah tampan menawan Calix. Sayang kalau dilewatkan.

"Ikutlah bersamaku." Ajak Calix sembari mengulurkan tangan ke arah Mirela, lantas tanpa pikir panjang gadis kecil itu menyambar tangan Calix lalu menggenggamnya erat-erat.

"Lumayan kesempatan~" senandungnya dalam hati.

Mengira akan dibawa ke taman bunga atau sejenis tempat indah lainnya, tetapi nyatanya sama sekali tidak. Mirela dibawa ke sebuah ruangan sepi yang belum pernah ia lihat atau baca dalam narasi novel manapun.

"Ekhm, aku tidak bisa berhenti memikirkan yang iya-iya." Batin Mirela antusias sebagai remaja yang baru mencapai usia legalitas di kehidupan sebelumnya.

"Bibimu meninggal." Ujar Calix begitu mereka sampai ke bagian tengah ruangan di mana terdapat sebuah ranjang dengan tubuh seseorang diatasnya. "Luka tusuk pedang menembus jantungnya dan memutus sebagian besar usus besarnya."

Mirela tertegun tak kuasa melihat penampakan terakhir Claire yang merupakan bibinya itu, lantas ia membuang muka ke arah lain namun disaat yang sama Calix menutupi mata Mirela dengan tangannya sehingga gadis kecil itu tidak perlu melihat kengerian di hadapannya lebih lama.

"Maaf." Lirih pria itu.

"Bahkan meski bukan salahmu, kau tetap meminta maaf. Oh, Calix. Jika saja aku berpindah ke tubuh wanita berumur dua puluh tahun atau sedikit lebih besar dari ini pasti sudah kuajak kau kabur dari neraka ini dan kunikahi secara paksa!" tandas Mirela dalam hati, ia tak tega melihat Calix terus-menerus bersedih. Setidaknya pria itu harus memiliki jodoh yang baik meski bukan dirinya.

"Paman tidak bersalah tahu." Sahut Mirela pelan, "berhentilah merasa bersalah untuk hal yang bukan salah paman!"

"Melindungi Yang Mulia dan semua orang yang ada di istana adalah tugasku sebagai Panglima, tapi aku gagal."

"Paman tidak gagal." Balas Mirela mencoba menghibur, "ada hal-hal yang berada diluar kendali dan tidak bisa diatasi oleh manusia seperti kita, ada batas-batas yang tidak bisa kita lewati. Semua itu karena takdir dan garis nasib. Yang terjadi hari ini sudah tertulis bahkan sebelum kita lahir."

The Shadow Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang