5. A Necklace

16.3K 1.6K 55
                                    

Tiga puluh jam kemudian kapal mereka sampai dibagian pesisir benua Everland, mereka sengaja tidak berhenti dipelabuhan sebab kapal yang mereka tumpangi tergolong ilegal. Hanya untuk kelompok-kelompok pencuri tertentu seperti mereka, salah satunya.

Mirela tidak banyak bertanya, Paman Bill yang menjelaskan dan sesekali Jafar serta Jena menambahkan beberapa kalimat atau memperbaiki kalimat pria tua itu.

"Berapa usiamu?" tanya Paman Bill tiba-tiba, keempatnya termasuk Mirela tengah berjalan menuju hutan perbatasan.

"Lima belas, kurasa..." Mirela menjawab lirih.

"Cih, dia bahkan tak yakin dengan umurnya sendiri." Sambar Jena sinis seraya meletakkan kedua tangannya terlipat di depan dada.

"Biarlah, aku tak perlu memikirkan hal yang tidak penting." Balas Mirela ketus.

"Hah? Tak penting?" Nampak Jena tak habis pikir dengan respon Mirela. "Kau ini bodoh atau... Pamannnn, mengapa kita bawa dia?"

Paman Bill mengendikan bahu. "Bukan aku, lho. Tanyakan pada Jafar." Sahutnya tak mau diseret ikut campur sebab tahu betul watak keras kepala Jena dan emosinya yang meledak-ledak.

"Jafar..." rengek Jena, gadis itu juga menghentak-hentakkan kakinya karena sebal.

Jafar yang dipanggil menghela nafas kasar lalu menjawab. "Kita berhutang budi padanya karena permata."

"Kalau begitu berikan satu dan suruh dia pergi." Usul Jena memberi ide cermelang pun nampaknya Mirela menyetujui.

Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah Jafar. "Dia benar, berikan satu padaku lalu kita berpisah."

Jafar menatap uluran telapak tangan kosong yang diajukan Mirela padanya lalu terlihat paman Bill mengangguk, setuju-setuju saja daripada Jena mengomel selama sisa perjalanan karena Jafar sendiri tahu sulit bagi gadis itu menerima keberadaan orang baru di sekitarnya. Jena punya isu kepercayaan.

"Tidak." Tegas Jafar mengambil keputusan.

"Aku yang membawanya ke sini dan tidak sopan rasanya kalau kita meninggalkannya begitu saja."

"Tapi, aku tidak keberatan." Seloroh Mirela. "Bagi saja satu dan aku akan pergi, kau tidak perlu merasa bersalah atau merasa tidak sopan."

"Jafar benar," celetuk Paman Bill. "Setidaknya kita harus memastikan dia dapat tempat tinggal dan cukup aman."

"Tidak, tidak, tidak." Mirela menggeleng dengan cepat menolak saran dari Paman Bill untuk hidupnya. "Stay calm, Bruh. I can do whatever i want. Just relax, Bruh."

"Hah?" beo Jafar melongo.

Mirela mengibaskan tangannya. "Kita berpisah disini," putusnya lekas mengambil jalan berbeda lalu berbalik tepat sebelum Jafar berkata. "Jangan mencegah, aku tidak sebocah itu untuk dikasihani. Aku..."

Mirela menunjuk dengan jari yang terluka lalu lekas menggantinya dengan jari tangan yang satunya lagi, "aku tahu segalanya, aku tahu cara mendapat tempat tinggal dan lainnya. Kalian pergilah, shu~ shuuuu~!"

Jena mendengkus. "Dasar bocah kurang ajar!" decaknya dengan suara pelan. "Dia tidak berterimakasih sama sekali padahal usia kita jauh lebih tua!" Timpalnya kesal masih menatap ke arah punggung Mirela yang semakin lama semakin menjauh.

"Hmm... jadi, dia memilih pergi." Paman Bill berdehem memecah keheningan yang sempat timbul lalu menepuk bahu Jafar. "Apa yang kau tunggu? Ayo pergi, kita harus menukar permata-permata ini dengan mata uang."

"Tapi..." Jafar menoleh sekali lagi ke arah Mirela, menatap sedikit iba pada punggung kecil milik gadis itu.

"Berhentilah menganggap semua gadis yang lebih muda sebagai adikmu, Jaf." Celetuk Jena semakin cemburu.

The Shadow Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang