"Matteo, lepaskan aku!" Ujar Mirela memperingatkan saat merasa tatapan dan sorot mata pemuda itu terhadapnya semakin menggelap serta cengkramannya pada lengan atasnya turut menguat.
"Matteo!" pekik Mirela panik terutama saat tangan Matteo beralih mencengkram kuat jari-jarinya hingga terasa amat menyakitkan.
"Katakan," pinta pemuda itu. "Tidak, jangan katakan. Walau kau meminta maaf, aku akan tetap melakukannya."
Pandangan Matteo menggelap terutama saat menatap jari-jari Mirela, keinginannya untuk menyamakan keseluruhan jari itu kembali setelah sekian lama sebab baru sekarang Matteo melihat ujung-ujung jari Mirela dengan jelas dan dari jarak dekat.
"Matteo! Kau gila!?" Mirela yang sadar akan hal itu berusaha memberontak, membebaskan tangannya mati-matian namun kalah tenaga dari Matteo yang mencengkram jari manisnya dan diarahkan menuju bagian tajam rangka kereta kuda di hadapannya.
"Tidak, Matteo!" panik Mirela histeris. "Matteo, kubilang hentikan!"
Mengabaikan pekikan Mirela, Matteo mulai menggoreskan ujung jari gadis itu dengan tekanan keras hingga memerah. Mulai mengelupas dibagian permukaan kulit terluar. Belum berdarah memang, namun Mirela sudah bisa merasakan perih yang teramat.
Lalu Mirela teringat bahwa Matteo hanya perlu tidak melihat sesuatu yang dianggapnya tidak sempurna namun Mirela tak dapat menggunakan tangannya yang lain karena sedang dicengkeram kuat, meski sudah mati-matian berusaha bebas namun ia gagal.
"Matteo, lihat aku!" seru Mirela memerintah seraya menggeser wajahnya tepat ke depan wajah Matteo sehingga saat ini keduanya bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
Bola mata Matteo bergulir lagi ke arah jari Mirela, masih ingin melanjutkan kegiatannya melukai jari tangan gadis itu.
"MATTEO!" jerit Mirela, membuat fokus mata Matteo tidak jadi ke arah tangannya melainkan ke wajahnya dan perlahan cengkraman pemuda itu pada jarinya mengendur sampai benar-benar melepaskannya.
Mirela bisa merasakan ketakutan luar biasa menggerogoti jiwanya dari dalam ketika netranya bertatapan dengan netra gelap milik Matteo, sementara pemuda itu justru merasa sebaliknya. Merasa lebih tenang dan damai saat kontrol dirinya berhasil kembali ia kuasai. Pun aura suram dimatanya berangsur menghilang.
Pemuda itu benar-benar membuat Mirela berteriak histeris seperti yang dikatakannya tadi.
"Aku tak bisa menahannya." Ucap Matteo pelan disusul hela nafas kasar lalu ia memalingkan wajah ke arah kiri, memutus kontak mata duluan.
Setelah merasa situasi membaik, Mirela menarik diri lalu menggenggam jarinya yang terasa sakit karena ulah Matteo sebab walau tidak berdarah mau bagaimana pun juga ujung kulitnya terkelupas cukup parah malahan rasanya jauh lebih sakit dibandingkan luka yang mengeluarkan darah.
"Maafkan aku," sesal Matteo merasa bersalah kemudian hendak meraih tangan Mirela namun gadis itu lebih dulu menghindar. "Biar aku melihatnya."
"Tidak usah!" tolak Mirela mentah-mentah, takut kalau Matteo kumat lagi dan sisa jarinya menjadi korban.
Matteo menggertakan gigi lalu menarik paksa tangan Mirela, "aku akan membalutnya." Ia berucap demikian lalu merobek bagian bawah dari gaun Mirela sampai gadis itu melotot.
"Kau merobek gaunku!?"
"Hanya gaunmu yang berdasar katun dan mudah dirobek serta ideal untuk membalut luka." Jawab Matteo ringan seperti tanpa beban, effortnya pun sebatas mengikatkan kain robekan itu ke jari manis Mirela tapi dengan merusak bagian bawah gaun gadis itu.
"Kau ini benar-benar..." Mirela tak habis pikir, "diluar angkasa, nalar, akal sehat manusia, kau berada diluar semua itu!"
"Lalu?" sahut Matteo menanggapi sambil mulai menjalankan kuda dengan mengarahkan tali pecut ke bagian sisi bokong kuda hingga hewan itu mulai berjalan dengan kecepatan sedang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Shadow Prince
Fantasy[TERSEDIA DI SHOPEE DALAM BENTUK NOVEL CETAK, langsung ketik Momentous Wordlab di pencarian terus buka akun shoppenya dan cari judul cerita ini💕] Matteo Haze atau lebih dikenal sebagai putra tunggal Kaisar Yohan dan Permaisuri Lana yang dapat ditem...