23. Remember

11.9K 1.4K 536
                                    

Setelah seminggu kunjungan Aisha selama beberapa kali dalam sehari untuk membantu Lana mengobati Matteo dengan mengoleskan herbal pada luka ditubuh pemuda itu kini tepat di hari ke-tujuh seluruh luka di tubuh pemuda itu telah mengering sempurna.

Matteo juga sudah sadarkan diri sejak lama, namun untuk terlibat banyak perbincangan dengan sang ibu rasanya ia masih belum berani karena canggung dan malu, entah kenapa. Matteo bukannya tidak suka melihat sang ibu dan sang ayah, meski sedang koma. Hanya saja... ia terlalu kikuk dan masih kelihatan bingung.

Sehingga untuk berbicara dengan Aisha pun Matteo terkadang menunggu Lana tertidur lebih dahulu, dia hanya merasa belum terlalu nyaman dengan keberadaan wanita.

"Aisha..." panggil Matteo dengan suara serak berbisik.

Gadis itu nampak tersentak kaget dan merespon, "y-ya?" dengan nada kaku.

"Bisa kau bawakan aku kunci untuk keluar dari sel ini?" bisiknya pada gadis itu.

Sesaat ekspresi Aisha nampak tegang mengingat Narnia selalu membawa kunci sel ini di lehernya. "Itu..."

"Aku harus keluar dari sini." Timpal Matteo.

"Iya, namun..."

"Apa?"

Aisha menunduk, ia ragu dan tak berani kalau diminta mencuri kunci sel tahanan dari Narnia. "Ada pada ibuku. Maaf, aku terlalu takut mengambilnya." Jawab gadis itu.

"Jika kau takut..." jeda sesaat, Matteo mencari celah lalu memegang tangan Aisha tiba-tiba. "Bagaimana aku bisa memberi keadilan pada kedua orang tuaku? Tidakkah kau merasa kasihan pada wanita itu?" tanyanya sambil menoleh ke arah Lana.

Sesaat Aisha termenung, perkataan Matteo sangat benar. "Tapi, aku terlalu takut..."

"Bukankah kau sering bilang pada ibuku kalau bintang adalah inspirasimu?" balas Matteo seraya meremas lembut tangan Aisha sampai pupil mata gadis itu membesar dan pipinya sedikit merah.

"Bintang memancarkan cahayanya sendiri tak seperti bulan yang hanya memantulkan cahaya dari matahari. Lantas mengapa kau tak menjadi seperti bintang dengan menyingkirkan rasa takut?" ujar Matteo berusaha mempengaruhi Aisha, membangun sugesti dalam pikiran gadis itu supaya bisa lebih berguna baginya.

"Matteo, aku--"

"Percaya padaku, Aisha." Potong Matteo cepat, suaranya pelan dan agak serak.

Mulanya Aisha hanya diam sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk menganggukkan kepala. "Aku akan mencobanya."

"Tidak, kau harus berhasil melakukannya." Ralat Matteo, "dengan begitu motivasimu untuk mencapai tujuan akan menjadi lebih kuat."

"Ya, aku akan mengambilnya." Angguk Aisha yakin kemudian menatap ke arah bawah, tepatnya pada tangan Matteo yang masih menggenggam tangannya. "Bisa kau...?"

"Ah..." Matteo segera menarik tangannya, ia agak terbawa suasana. "Cobalah untuk mengambilnya malam ini." Pesannya pada gadis itu sebelum menarik diri dan menjauh dari jeruji sel.

"Aku pamit dulu." Ucap Aisha sembari membenahi obor yang dibawanya kemudian bangkit berdiri dari posisi yang semula duduk berlutut.

Selepas kepergian Aisha, aura sel tahanan kembali suram dan gelap. Matteo menghela nafas, ia mencoba memperhatikan jeruji di hadapannya. Menggenggamnya dengan satu tangan seolah sedang memeriksa seberapa keras besi itu.

"Tidak ada benda tajam yang bisa kugunakan sebagai alat pemotong disini, melihat saja sulit." Keluh Matteo bergumam tak habis pikir namun setidaknya lebih baik terjebak di bawah tanah daripada di bawah air, kan?

The Shadow Prince Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang