28 - Would You?

2K 287 11
                                    

Marvin terbangun dari tidurnya, sebenarnya ia tertidur karena diberi obat. Ia tidak bisa tidur jika tidak meminum obat, dan itu sangat tidak nyaman ketika sudah terbangun.

Melirik kearah waktu yang masih menunjukkan pukul satu malam, Marvin kemudian melihat kearah Arinna yang tertidur di sofa. Lelaki itu terdiam sejenak seraya bermonolog dalam hati tentang Arinna yang tidak beranjak dari sini.

Padahal Arinna bisa saja meninggalkan Marvin karena gadis itu sedang cuti bekerja dan menikmati waktu liburnya.

Apa karena Arinna iba pada Marvin dan keadaannya sekarang?

"Pasti tidak nyaman tidur disana"Marvin bermonolog, lelaki itu sudah merasa lebih baik dan kuat saat bangun dari ranjangnya. Ia berjalan perlahan menghampiri Arinna yang masih lelap.

Gadis itu pasti sangat lelah hari ini.

Dipandanginya paras ayu milik Arinna yang tetap saja sangat cantik meskipun sedang tertidur. Terlihat polos dan menawan dengan pahatan wajah yang nyaris sempurna laksana bidadari.

Kedua matanya yang besar dengan manik yang jernih juga tajam, pipinya yang dahulu berisi, kini terlihat lebih tirus. Hidungnya yang Bangir, dan bibirnya yang sedikit berisi dan kecil.

Semuanya tetap sama seperti apa yang Marvin lihat beberapa tahun yang lalu saat melihat visual Arinna. Tetapi gadis itu kini terlihat kurus dan juga semakin dewasa.

Senyuman tipis terpatri di bibir tipis milik Marvin. Dengan perlahan dan mudahnya, ia mengangkat tubuh Arinna dan membawanya menuju ranjang yang semula Marvin tempati.

Ia akan memindahkan Arinna agar sang gadis bisa tidur dengan nyaman. Sedangkan Marvin? Ia sama sekali tidak mengantuk, dan memutuskan untuk diam di balkon hingga pagi tiba.

Marvin tidak bisa merasakan nyamannya tidur semenjak ia telah menyakiti dan meninggalkan Arinna, dan semakin parah setelah kematian Yunjin. Bahkan ia bisa terjaga sepanjang hari jika ia mau.

Setelah merasa Arinna telah nyaman ditempatnya, Marvin meraih ponselnya yang ternyata telah tersimpan diatas meja kecil disamping ranjang. Ia juga kini sedang mengambil sesuatu didalam saku mantelnya yang digantung disebuah gantungan didekat pintu.

"Ah, aku pikir telah hilang."Monolog Marvin lagi, ia merasa lega bahwa rokok yang ia pikir hilang masih ada dan kini berada digenggamannya.

Lelaki itu berjalan perlahan menuju balkon, kemudian menutup pintunya perlahan agar tidak membangunkan Arinna.

Angin malam seketika menerpa tubuhnya yang telanjang dada. Marvin dengan santainya mulai menyalakan rokok yang kini sudah berada di bibirnya kemudian menghisapnya secara perlahan dan menghembuskan asapnya dengan tenang.

Tangannya tetap lincah membuka layar ponselnya meskipun terbalut perban, Marvin memutuskan untuk menghubungi Yasmine untuk mengetahui kabar Winter yang belum ia hubungi semenjak sampai di Manhattan.

"Marvin?"

"Yasmine, kemana Winter? Aku ingin bicara dengannya."

"Sedang pergi bersama Ray membeli coklat. Mungkin sebentar lagi pulang, bagaimana? Sudah menemukan Arinna?"

Sebelum menjawab pertanyaan Yasmine, Marvin menghisap kembali rokoknya dan menghembuskan asapnya perlahan. "Sudah, tetapi aku tidak yakin ia akan ikut ke Korea atau tidak. Meskipun Winter ada disana, tidak menutup kemungkinan bahwa Arinna tidak akan ikut"Jawab Marvin, sedikit pesimis.

Helaan napas panjang terdengar diseberang sana, Yasmine pasti bingung harus merespon bagaimana dengan jawaban Marvin.

"Atau kami akan kembali besok"

"Aku akan mencoba untuk bicara dengannya, sekarang Arinna sudah tidur. Ia pasti kelelahan dengan kejadian tidak terduga beberapa jam yang lalu"

"Nde? Kalian kenapa!?"

Marvin menjauhkan ponselnya dari telinga. Suara Yasmine Hwang ketika berteriak sama seperti suara lumba-lumba yang nyaring, astaga.

"Hanya masalah kecil. Ray pasti sudah mengetahui ceritanya, tanyakan saja padanya jika kau masih penasaran. Aku tidak mau menjawab"Goda Marvin kepada Yasmine, sepupunya itu pasti sekarang sedang kesal dengannya.

"Tidak bisa tidur? Disana pasti sudah sangat larut."

Marvin tersenyum kecut. "Selama ini kau sudah tahu sendiri bahwa aku memang tidak bisa tidur jika tidak meminum obat, Yasmine."Jawabnya sedikit lirih.

"Kau perlu konsultasi dengan dokter, Marvin. Kau sudah seperti ini beberapa tahun lamanya"

"Tidak perlu. Mungkin ini memang hukuman yang harus aku terima disepanjang hidupku, dan ini bukan masalah besar"

"Itu masalah besar bagi kesehatanmu, Marvin."

Marvin menghisap sekali lagi rokoknya, ia merasa jauh lebih tenang jika menghisap benda ini dikala sedang kalut.

"Jangan pedulikan aku, Yasmine. Katakan pada Winter bahwa sebentar lagi daddy nya akan membawa mommy Rina kesana."

"Beberapa menit yang lalu kau tampak putus asa untuk membawa Arinna kemari, sekarang beda lagi. Dasar aneh"

"Bahkan aku bisa menikahinya jika perlu, Yasmine. Ah, sudah. Aku tutup teleponnya, katakan pada Winter bahwa aku mencintainya."

Tut.

Marvin menghisap rokoknya yang nyaris habis sekali lagi, setelah itu ia mematikannya dan membuangnya ke tempat sampah yang tersedia. Ia melihat kembali jam, sudah pukul dua dini hari.

Marvin memutuskan untuk kembali menyalakan kembali rokok yang sudah ia ambil dari bungkusnya.

"Sebuah ide buruk untuk diam di balkon dini hari dengan telanjang dada sembari merokok"

Marvin menoleh, ia mendapati sosok Arinna berdiri diambang pintu sedang melihat kearahnya dengan tatapan datar. Sang lelaki urung menyalakan rokoknya kemudian berbalik menghampiri Arinna yang masih berdiam disana dengan bersidekap.

"Terlalu dini untuk bangun, tidurlah."Ujar Marvin dengan lembut, tatapan teduhnya beradu dengan tatapan dingin Arinna.

Bisa Arinna lihat bahwa dari dekat, Marvin tampak terlihat lelah. Kantung mata kecil menghiasi kedua bagian bawah mata lelaki itu. Padahal Marvin telah beristirahat lumayan lama, tapi tetap saja lelaki itu terlihat seperti kurang istirahat.

Ah? Mengapa Arinna memperhatikan Marvin?

"Ada yang ingin aku bicarakan padamu"

"Katakan saja"Jawab Arinna langsung, membuat Marvin mengulum senyum tipis.

"Apakah kau bersedia untuk ikut aku ke Korea pagi ini?"Tanya Marvin, sebenarnya ia sangat gugup dan juga mengerti jika Arinna menolak untuk ikut.

Astaga, mengajak pergi ke Korea saja seperti hendak mengajak nikah. Ini sangat gugup sekali, apalagi tidak ada respon apapun dari Arinna.

Membuat Marvin mengerti bahwa jawabannya pasti tid--

"Selama aku bisa bertemu dengan Winter, aku akan ikut."Jawaban Arinna adalah hal yang tidak bisa Marvin prediksi, tentu hal ini juga yang membuat Marvin ikut senang.

Ia akan memiliki kesempatan untuk bersama Arinna, sekaligus memperbaiki hubungan mereka secara perlahan-lahan namun pasti.

Arinna bisa melihat raut wajah Marvin yang cerah, wajah lelaki itu masih sedikit pucat dibalik senyumannya.

"Apakah yang aku lakukan ini adalah benar?" Monolog Arinna dalam hati.





Tbc...

Satu chapter lagi aku up nanti malam hehe! Btw, gimana dulu nih buat part ini? Yuk ramaikan komentar sebelum baca chapter selanjutnya! Hehehe

Become a Mommy || Winrina (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang