44. Dugaan

102 17 0
                                    

B for Bosan, satu kata yang menggambarkan perasaan Alila saat ini. Sejak subuh menjelang tengah hari dia sama sekali tidak memiliki kesibukan lebih selain menghitung waktu berputar. Guling ke sana kemari hanya untuk mencari posisi ternyaman dalam berebah, tetapi tetap saja terasa ada yang kurang.

Dia memeriksa ponsel, di mana pada kolom chat hanya ada notifikasi masuk dari bunda. Alila iseng membuka pesan tautan yang dikirim bunda, sebuah tausiah singkat dengan judul yang cukup menggelitik perutnya.

“Cara-cara menyenangkan hati suami,” eja Alila, menimang sesaat. “Serius, Bunda ngirim beginian? Dikira bakal aku tonton gitu?”

Pesan masuk beberapa detik berikut, kali ini bunda Hana mengirim pesan suara dan tangkas diputar Alila.

“Ingat, sudah bersuami. Ini untuk yang terakhir bunda share, besok-besok inisiatif sendiri.” Begitu yang bunda sampaikan, hal tersebut justru membuat Alila heran.

Ya, beberapa hari terakhir bunda jadi sangat sering menasihatinya tentang perkara hak dan kewajiban seorang istri pada suami, dengan embel-embel agar Alila belajar. Namun, Alila justru menanam kecurigaan. Lantas dia menelepon bundanya, tetapi tak direspons.

“Apa maksudnya bunda kayak gini?” gumam Alila.

Tak lama berselang pesan masuk terlihat di layar, Alila tak langsung membuka pesan bunda saat perhatiannya teralih oleh kemunculan Izzam dari seberang pintu.

Alila terkesiap di tempat, duduk di tepi kasur seraya menatap canggung ke arah suaminya. Entah, teringat kejadian semalam Alila menjadi gagu jika berpapasan dengan Izzam. Padahal semestinya dia marah karena Izzam melanggar apa yang telah jadi kesepakatan mereka. Namun, suaminya itu bersikap biasa-biasa saja seolah tidak terjadi apapun di antara mereka.

Izzam membawa langkah menuju kamar mandi, lalu keluar dengan pakaian ganti setelahnya ia meraih almamater di gantungan lalu mengenakannya dengan telaten. Tak ada tegur sapa, Alila jadi semakin heran ketika Izzam bersikap demikian.

“Serius aku diginiin?” Tak terima didiamkan, Alila akhirnya melontarkan pertanyaan lebih dulu sebelum Izzam beranjak keluar dari sana.

Izzam melirik sekilas dengan senyum tipis di bibirnya, baru menjawab, “Aku ke kampus bentar.”

“Nggak ada yang nanya,” tanggap Alila bersedekap tangan di dada.

Izzam tak lagi balas menanggapi, dia langsung keluar tanpa sapaan. Tidak seperti biasanya, Izzam terlihat begitu membatasi interaksi bahkan cepat memutuskan pembicaraan sepihak.

“Apa-apaan sih dia? Kenapa kesannya jadi aku yang bersalah di sini? Harusnya dia ngomong sesuatu atau apa, klarifikasi kek soal semalam,” gerutu Alila, sebal. “Lagian, apa coba yang mau dia urus di kampus siang-siang gini? Sok sibuk banget.”

Alila semakin murung ditinggal pergi, dia benar-benar merasa sendiri di rumah itu. Tidak ada yang dapat dia lakukan, masa pkkmb di fakultas pun masih sepekan lagi baru terlaksana. Suntuk rasanya.

***
“Wey, Bro!”

Baru tiba di parkiran sekret kedatangan Izzam langsung disambut oleh kemunculan Hairil yang dengan wajah cerianya merangkul mesra pundak sang teman.

“Assalamu'alaikum,” tegur Izzam dengan lirikan malas menanggapi.

“Eh iya, wa'alaikumussalam,” balas Hairil seraya tersenyum clingy. “Makin bugar saja. Lancar?”

Alis Izzam menukik satu, tidak mengerti. “Apanya yang lancar?”

“Kok, nanya balik? Itu loh, yang waktu itu!” kata Hairil mengingatkan.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang