Dalih menghindari perdebatan berkepanjangan dengan suaminya seharian ini, Alila benar-benar membatasi interaksi di antara mereka. Bersikap seolah tidak saling peduli, meski Izzam tak henti melakukan upaya membujuk.
Sayang, Alila tampak membentangkan tabir. Sulit disentuh.
Wajar, menurut Alila. Dia kecewa, mengetahui sesuatu yang bahkan tidak pernah terlintas di benak akan disembunyikan darinya. Tentang perjodohan yang entah sudah sejak kapan direncanakan, orang terdekatnya bahkan tidak bersuara akal hal tersebut.
"Jangan bersikap kekanak-kanakan begini Alila," tegur Izzam.
Sepulang menjalankan ibadah isya di masjid pesantren, Izzam kembali ke ndalem. Berpapasan dengan sang istri yang berancang pisah tempat tidur dengannya.
Alila sama sekali tidak mengubris ucapan Izzam, walau beberapa kali terdengar Izzam mengembus napas berat nan gusar.
"Kenapa? Kamu muak?" celetuk Alila usai meletakkan bantal di lantai. Pasang raut masam menghadap suaminya.
Izzam tak langsung menjawab, sorot laki-laki itu beredar linglung. Menunjukkan ekspresi lelah.
"Kalau muak, selesaikan semuanya. Karena aku juga capek menjalani pernikahan yang kayak gini," perempuan itu melanjutkan. Suaranya gemetar terdengar, mengalihkan atensi Izzam padanya.
Raut Izzam berubah merah padam. Dia marah? Pikir Alila terlintas, tetapi sama sekali tak menggerakkan hatinya menarik penuturannya barusan.
"Kenapa?" Alila terus mempertanyakan, "kamu nggak capek kayak gini terus?"
"Alila," tegur Izzam sembari memijit pangkal hidungnya, tak terhiraukan.
"Akhiri semuanya, kamu menikah lagi dan kita pisah!"
"Alila!" bentak Izzam, lepas kendali.
Alila sampai terkejut karena bentakannya, mengerjap takut melihat Izzam.
"Kamu bicara apa sih? Apa cuma itu yang ada di pikiran kamu?" celetuk Izzam, "Pisah, pisah, pisah terus! Kamu nganggap pernikahan ini sebenarnya apa? Lelucon? Drama? "
Bergilir kini Alila tersentak di tempat, dituntut demikian justru membuatnya merasa terintimidasi. Mengapa tidak? Baru kali ini dia mendapati Izzam mengeraskan suara di hadapannya. Sebelumnya tidak, membuat Alila bungkam dengan mata yang seketika memerah membendung cairan di ujung pelupuk.
Menyadari hal tersebut, Izzam mengeram rendah. Kali ini dia turut merutuki sikap sendiri karena tak lagi dapat menahan emosi. Dia bahkan mengacak rambutnya frustrasi. Sulit menurutnya ketika harus memahamkan Alila yang bahkan tidak sama sekali mau mendengarkannya.
"Aku juga nggak mau ada di situasi ini. Tapi, apa kamu bakal ngerti, Al?" keluh Izzam berbalik badan, menuntut dengan suara rendah.
Alila hanya diam, walau sesekali tertunduk menyembunyikan raut mukanya. Mendadak bingung, dia pun merasa takut.
"Lihat sini!" titah Izzam hendak meraih pundak sang istri, tetapi lekas ditolak Alila.
Meski tidak mengatakan apapun, Alila tetap berupaya menghindari Izzam. Dalih sakit hati dibentak laki-laki itu. Apa yang Alila pikirkan, andai kata malam ini dia bisa pergi, maka pergi dari hadapan Izzam yang sangat ingin dia lakukan sekarang.
"Al, sekali saja. Kamu biarin aku jelasin semuanya," pinta Izzam. Suaranya kembali merendah penuh permohonan. "Atau enggak sekali saja, kasih aku kesempatan buat percaya kalau kamu bisa aku jadikan rumah untukku berkeluh kesah. Cuma itu, sekali saja."
Alila angkat pandangan melihat Izzam, menatap lamat dalam sesaat dengan derai air mata yang entah sudah sejak kapan luruhnya. Dia menangis, tetapi tahan tidak terisak. Tergerak hati mendengar apa yang Izzam sampaikan. Namun, entah mengapa Alila merasa masih sulit percaya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
روحانياتTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...