49. Kecewa

111 17 20
                                    

“Alila nggak mabuk selama perjalanan?” Suara ayah Junaid terdengar, mengalihkan atensi Alila menatap layar ponselnya.

Pagi itu dia sedang teleponan dengan abangnya, menyapa mereka setelah beberapa hari lalu tiba di pesantren. Mata Alila sontak berkaca-kaca, rindu pada keluarga.

“Baik, Yah. Sempat mabuk sih,” tutur Alila menyahut pertanyaan.

“Bukan mabuk lagi, dia sampai demam saat perjalanan pulang,” sahut Khadafi di samping sang ayah.

“Loh, demam, Al? Tapi, sekarang sudah meningan?”

Alila tersenyum haru melihat raut cemas ayahnya. Alila akui, ayah memang selalu peduli jika sesuatu terjadi padanya. “Aman, Yah, aman, kok.”

Dalam hati meringis, Alila terpaksa berbohong kepada keluarga. Fisiknya memang mulai sehat kembali, tetapi tidak dengan pikiran dan perasaannya sekarang. Hampa, bingung menemukan jalan keluar dari masalah yang saat ini sedang dia hadapi. Kadang juga menangis dalam sepi. Alila tidak begitu mengerti, mengapa dia dihadapkan pada situasi seperti ini.

Selesai berbincang-bincang singkat dengan abang dan ayah,  Alila memutuskan keluar dari kamar. Sejak tadi dia sendirian di sana. Suaminya entah ke mana, dia pergi tanpa pamit dan hanya meninggalkan ponsel di kamar.

Tak ambil pusing, Alila akhirnya memberanikan diri keluar. Berniat menyapa keluarga ndalem pagi ini walau sedikit tak enak hati, mengingat sejak kemarin dia hanya mengurung diri dalih menutupi permasalahan dengan Izzam.

Tempat pertama yang Alila tuju adalah dapur ndalem, di sana sudah ada dua orang santri, salah satu dari mereka Alila kenal. Jamilah.

“Itu teh untuk siapa?” Alila bertanya begitu melihat Jamilah sedang menyeduhkan dua cangkir teh.

“Eh, istri Gus Izzam. Baru kelihatan jam segini? Serius?” ujar Jamilah dengan suara pelan, tetapi pasti Alila mendengarnya.

Alila diam menatap mata Jamilah tanpa kata. Tidak harus merasa tersinggung tentang apa yang perempuan itu katakan, batin Alila.

“Teh untuk bu nyai jangan dimasukkin gula, ya, Mil. Cukup yang buat tamunya aja,” sahut salah seorang santri di sana.

“Iya,” balas Jamilah, hendak membawa nampan berisi 2 cangkir teh tersebut, tetapi lekas ditahan Alila.

“Biar saya saja,”

“Yang diamanahkan bu nyai itu saya, Mbak,” kata Jamilah.

“Saya saja!” pertekan Alila, sampai Jamilah mau menyerahkan nampan tersebut kepadanya.

“Awas tumpah,” kata Jamilah dengan muka masam.

Alila tak lagi meladeni, langkahnya fokus terbawa menuju ruang tengah di mana ada ummi Nisa dengan seorang wanita paruh baya, Alila tampak tidak mengenalinya. Namun, dari jarak ini Alila masih dapat menangkap pembicaraan mereka membuat Alila yakin tentang prasangka di benaknya.

“Raini itu anak yang baik, Nis. Cerdas, dan berbakti kepada kami orang tuanya, cocok dengan Izzam.”

Begitu yang wanita itu tuturkan, membuat Alila terhenti sejenak. Mendadak nyeri di dada, tangan Alila memegang kuat pinggiran nampan. Membulatkan tekat mendekat.

“Permisi, Ummi. Maaf ganggu pembicaraannya,” ucap Alila dengan kepala tertunduk.

“Alila?” Ummi memanggil, rautnya berubah tegang seketika.

Alila membalas dengan seulas senyuman, lalu telaten meletakkan secangkir teh untuk ummi dan tamunya.

“Ini istri Izzam?” wanita itu bertanya.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang