Tidak terlintas di benak Izzam, setelah berjam-jam mengemudi, menjelang subuh ini pun dia harus terjaga. Alila terus meracau tidak jelas, dan setelah diperiksa rupanya suhu tubuh perempuan itu meningkat, mengakibatkan sulit tertidur, imbasnya juga dirasakan Izzam. Belum sempat membersihkan badan, dini hari itu Izzam mesti bolak-balik ke dapur hanya untuk mengganti air kompresan Alila.
Hanya itu yang Izzam upayakan, tidak sedikit pun mengeluh. Setidaknya dengan demikian dapat menurunkan panas di tubuh Alila. Tentu saja, Izzam khawatir dengan keadaan istrinya, dan dia punya kewajiban untuk merawat walau harus mengorbankan jam istirahat sendiri. Namun, tak menafikkan rasa kantuk menyerang. Beberapa kali Izzam menguap sampai akhirnya dia ikut tertidur, tepat di samping istrinya.
Entah sudah berapa lama Alila tertidur, dia baru membuka mata ketika suara selawatan terdengar dekat di telinga. Pandangannya lantas diedarkan ke sekitar hingga ia dapati Izzam di sampingnya, tidur berhadap-hadapan dengan posisi sedekat ini? Jantung Alila kembali berdetak karenanya.
Alila memilih diam di tempat, mengamati dengan saksama raut tampan yang terlihat begitu lelah itu. Kelopak mata sang suami terlihat berat terbuka, embusan napasnya pun terdengar teratur. Tampak pulas tertidur. Dalam diam Alila mengagumi wajah tenang Izzam, tanpa sadar Alila bahkan mengikis jarak mengambil posisi sedekat mungkin dengan sang suami untuk bisa menatapnya lebih lama. Namun, detik berikut Izzam menunjukkan pergerakan membuat Alila sigap menutup mata, takut-takut ketahuan oleh suaminya.
Izzam mengucek mata sembari bangkit dari baringan, baru sorotnya tertuju pada Alila di samping. Izzam meraih handuk kecil di kening Alila, dan meletakkan punggung tangan di sana untuk memeriksa suhu tubuh istrinya.
“Masih panas,” ucap Izzam. Dia beranjak dari tempat tidur, dan mengganti kain kompresan di kening Alila, berharap itu akan membantu menurunkan panas sebelum dia keluar membelikan istrinya itu obat.
Niat hati menjaga istrinya sebentar lagi, tetapi di seberang suara azan telah memanggil. Izzam harus bersiap-siap menjalankan ibadah subuh terlebih dahulu, kemudian memutuskan untuk ke apotik pagi itu.
***
“Assalamu'alaikum,” sapa Zidan sembari berjalan menuju meja makan, usai dari pondok.
Di sana sudah ada kedua orang tuanya, dia berniat ikut sarapan bersama pagi ini.
“Wa'alaikumussalam.”
“Baru pulang, Zidan?” Ummi Nisa menyapa, seraya menyajikan makanan untuk sang putra di piringnya.
“Tadi ngobrol-ngobrol dulu dengan ustadz Yahya, Mi. Makanya agak lambat balik,” kata Zidan.
Ummi Nisa mengangguk. “Ya sudah, Zidan sarapan, ya. Bareng Abah dulu.”
“Ummi mau ke mana?” tanya Zidan lagi.
“Mau kasih sarapan buat Alila, kasihan dia belum dapat asupan apapun dari semalam” jawab ummi Nisa seadanya, kemudian beringsut meninggalkan meja makan dengan semangkuk bubur.
“Alila?” sebut Zidan dengan kening berkerut.
Kiai melirik, lantas menyahut, “Istri Izzam. Semalam mereka tiba.”
“O-oh,” tanggap Zidan, berubah canggung menatap abahnya.
Di sisi lain, pintu kamar diketuk ummi Nisa, tetapi tidak ada respons dari dalam sana. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, ummi berinisiatif memasuki kamar Izzam untuk memastikan. Tetapi, begitu tiba di dalam dia justru mendengar suara Alila dari dalam kamar mandi, perempuan itu terdengar sedang mual-mual.
Semula ummi merasa biasa saja sebelum sesuatu terlintas dipikirannya memicu senyuman terukir di wajah. Saking senangnya dengan kesimpulan di benak, ummi Nisa sampai lupa akan tujuannya di sana sehingga dia beranjak dari kamar dengan membawa keluar bubur yang tadi hendak diberikan kepada Alila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
EspiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...