35

1.7K 102 6
                                    

Siang ini Deka tengah dalam perjalanan menuju kantor papa Andres setelah sekitar pukul 11 mereka serempak bangun dari tidur panjang mereka. Selesai sarapan mereka pun pamit untuk kepentingan masing-masing. Raka sudah menawarkan Deka untuk diantar olehnya, namun dia menolak karena memang setelahnya dia ingin mampir ke rumah kak Seze untuk menjenguk baby Shea yang sedang sakit. Deka juga sudah berjanji untuk mampir sebentar ke rumah Raka setelahnya.

"Selamat siang nona Hanah, beliau sudah menunggu kehadiran anda di ruangannya"

"Terima kasih, Alice" Sahut Deka pada petugas receptionist setibanya dia di dalam gedung pencakar langit itu. Aluce telah bekerja untuk papa Andres hampir sepuluh tahun lamanya, salah satu orang kepercayaan papanya.

Deka langsung menuju lift pribadi yang akan membawanya langsung ke satu lantai dimana hanya ada ruangan papa Andres disana. Deka dulunya kerap bermain disana, menjadikan lantai yang luas itu area bermainnya dengan Bita sewaktu kecil, bahkan saat itu papa Andres mendekorasi ulang satu lantai itu menjadi ruang bermain Deka. Berbeda dengan kak Seze yang masa kecilnya ditemani oleh bi Saras karena kedua orang tua mereka sedang sibuk-sibuknya bekerja, maka Deka ada saat masa jaya mereka sudah digenggaman tangan. Andres dan Olin bahkan membawanya ke perusahan dan akan mengasuh sendiri Deka dengan kedua tangan mereka, kemanapaun mereka pergi.

Pintu lift itu terbuka dan menampakkan sosok yang membuat Deka melebarkan matanya tak menyangka.

"Liam?"

Tidak ada sahutan berarti darinya, dapat Deka lihat bagaimana berantakannya penampilan lelaki itu, bagaimana tubuh itu terlihat lebih lesu dan kurus dari terakhir kali dia lihat, bahkan diwajahnya terdapat bulu-bulu halus yang menghiasi rahangnya.

Kapan terakhir dia bercukur?

Deka melangkah keluar dari lift, hendak menanyakan bagaimana kabar pria itu, karena terakhir kali mereka berinteraksi adalah saat dimana keduanya sedang berada disituasi yang sangat berat.

"Liam, apa ya-"

Liam melangkah melewati Deka dan menekan tombol lift ke lantai basement. Deka menunduk menyadari Liam sedang tidak ingin diganggu, bahkan oleh dirinya, perempuan yang seharusnya menjadi satu-satunya orang yang tak bisa ia tinggalkan, tapi sekarang? Apa yang terjadi?

Deka menoleh menatap penuh arti pintu lift yang sudah sepenuhnya tetutup itu dengan perasaan mengganjal yang tidak ia sukai, perasaan kosong yang seakan menelanjanginya hingga membuatnya bergetar malu.

Tanpa mau berlama-lama, ia pun melangkah dan memasuki ruangan papa Andres.

"Ketua sudah menunggu kehadiran anda nona" Sapa Gustaf, sekertaris papa Andres. Deka hanya mengangguk kecil dan mengetuk pintu kaca itu tiga kali.

"Masuk"

"Aku datang"

"Apa yang membuatmu terlambat?" Tanya Andres tanpa mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas yang ada digenggamannya.

"Teman-temanku dan Bita menginap di apart semalam, we having some chills and got tipsy" Kini pandangan itu teralihkan dan menatap Deka selidik, tidak menukan tanda-tanda putrinya masih mabuk, ia pun kembali menatap berkasnya.

"Hmm, duduklah"

Deka mendudukan dirinya di sofa yang berada di depan meja kerja papa Andres.

"What's this?" Tanya Deka penasaran dengan piring-piring yang berisi makanan Chinese food yang tersaji di atas meja, beberapa piring sudah kosong dan hanya satu piring yang masih utuh.

"Itu makan siangmu yang papa pesankan untuk kita makan siang bersama dengan Liam, tapi kau terlambat, padahal dia sudah memisahkan bawang goreng di makananmu karena kau tidak suka texturenya, kau berpapasan dengannya di lift ?"

Deka terdiam sejenak menatap sepiring makanan dimana disebelahnya terdapat piring lain yang berisi pisahan bawang goreng.

"Iya, aku berpapasan dengannya"

"Sebenarnya papa akan membicarakan ini berdua dengan kalian, namun Liam sepertinya harus kembali ke perusahaannya" Deka menatap papa Andres dengan alis yang terangkat sebelah, apa itu artinya dia tidak mau menunggu kedatangan Deka? Mengapa rasanya sangat asing melihat Liam berubah menjadi Liam yang dulu tanpa Deka bisa berbuat apapun seperti waktu itu.

"Bicara apa?" Andres melepas berkas-berkasnya.

"Hanah, masuklah ke perusahaan Audreanza" Deka mengedip beberapa kali berusaha mencerna ucapan tak terduga papanya.

"Apa maksud, papa?"

"Aku paham, kau tidak ada keinginan ikut campur dalam perusahan atau apapun yang akan membuatmu sibuk, itu terlihat jelas dari bagaimana kau memutuskan untuk tinggal sendiri di apart. Papa tidak melarangmu, nikmatilah hidupmu, papa mengerti lelahmu dengan kehidupan yang mamamu suguhkan padamu. Tapi papa mohon, temani Liam belajar, tidak dengan kau harus berada disana selamanya, hanya membantu Liam untuk mempersiapkan segalanya agar ia bisa melanjutkan perusahaannya dan setelahnya kau bisa resign."

"Aku tidak mau"

"Boleh papa tanya mengapa?" Deka membuat nafasnya pelan.

"Banyak hal yang sudah berubah, pa. Aku dan dia tidak bisa lagi sedekat dulu." Andres beranjak mengampiri Deka dan mendudukkan dirinya disebelahnya.

"Papa mengerti, masalah kalian hanya kalian yang tau dan papa tidak ingin mencari tau apapun tentang itu, Hanah. Namun, tidak bisakah saat ini kau melihat Liam sebagai seorang anak yatim piatu yang sedang tersesat? Dia membutuhkanmu, bantuanmu, dia hanya terbuka denganmu, bahkan papa tidak akan mengatakan jika 'Liam bertahan hidup saat ini hanya karena dirimu' adalah sebuah kalimat yang berlebihan"

Deka membuang pandangannya ke luar jendela, menatap birunya langit siang itu tanpa ingin mendengar permintaan papa Andres.

Andres membuat nafas pelan "Baik, jika kau memang tidak mau mendengar apa yang papa katakan, maka cobalah berbicara dengan Anton, dia akan menyampaikan surat wasiat Lukas untukmu." Tatapan Deka berubah serius, menatap papa Andres lekat dengan pelupuk mata yang mulai basah.

Apalagi sekarang?

---

Disebuah bangunan megah bergaya eropa, terdapat sosok pria yang saat ini tengah sibuk menata dan membersihkan dengan mengelap beberapa bingkai foto yang di dalamnya terdapat figur seorang gadis cantik yang sesaat lalu bercengkrama dengannya, bahkan dia dapat mencium wewangian yang mengelilingi kediamannya tanpa bersusah payah.

Pria itu menatap penuh puja sosok gadis yang tersenyum cantik mengenakan seragam kelulusan semasa mereka sekolah.

"Ternyata hama itu sudah membaca rencanaku, dia bahkan menyingkirkan juru kunci dari rencanaku dengan mudahnya tanpa memikirkan dampak apapun, sama seperti waktu itu."

Pria itu bermonolog seraya tersenyum penuh binar melihat sekeliling ruangan yang penuh oleh bingkai foto gadis itu, bahkan di pojok ruangan ia menaruh sebuah mannequin yang mengenakan gaun pengantin berwarna putih, entah untuk apa dia melakukannya.

"Berarti tindakanku tidak buruk juga, anggap saja kita impas" pria itu kembali memajang bingkai foto itu di ujung meja kerjanya.

"Tenang saja, aku tidak akan membiarkan parasit itu terus menempelimu, jika menurutmu Raka yang terbaik untuk membuat hidupmu berwarna, maka aku tidak akan mengganggu selama dia bisa menjagamu dengan baik."

Angga beranjak menuju tempat dimana ponselnya berada karena deringan yang terdengar.

"Cari sesuatu yang lain yang bisa membuatnya hancur, dia sudah diambang batas" ucapnya pada seorang di seberang telepon dan langsung menutupnya tanpa mendengar sahutan seseorang itu.

"Tapi jika Raka pun akhirnya membuatmu bersedih, maka maafkan aku, karena sekuat apapun tali pasti akan putus jika disulut api"

LealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang