Liam duduk dengan penuh wibawa di ruang tunggu itu, menunggu seseorang yang hari ini akan ia lepaskan, karena dia sudah menemukan siapa musuh yang sebenarnya.
Klek!
Suara pintu terbuka, Liam menatap seorang pria yang mengenakan pakaian terakhir yang ia kenakan ketika memasuki penjara ini.
"Apa lagi sekarang, Bargata?" Desis Erik yang masih setia berdiri di hadapan Liam. Dia tidak pernah bisa mengerti jalan pikir Liam. Sejak malam dimana ia di panggil ke apartemen pria itu dengan dalih mengerjakan tugas, namun ternyata ia justru di jadikan kambing hitam atas kematian seorang wanita yang ia kenali dan kerap menghabiskan waktu bersama perkumpulan mereka kala itu. Dan sekarang, tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba ia di tangguhkan kebebasannya dengan syarat ia harus pergi dan hidup di luar negeri, bahkan semua itu diatur tanpa persetujuan atau sepengetahuannya.
"Aku hanya ingin menebus kesalahanku, teman." Dada Erik naik turun menahan marah. Sebegitu gampangnya kah seorang konglomerat sepertinya mempermainkan hidup orang miskin? Hanya dengan uang semuanya selesai bahkan tanpa harus berpikir panjang tentang dampak apapun. Bahkan kerusakan mentalnya selama di penjara bukanlah sesuatu yang patut orang-orang itu pertimbangkan, menanggung kesalahan yang bukan miliknya, masa depannya rusak dan sekarang semua dibuat kembali normal hanya dengan tumpukan kertas yang sayangnya dapat membuat semua orang lupa akan harga dirinya.
"Mengapa aku harus menurutinya?"
"Aku hanya ingin hidup damai dengan Hannah, tanpa kemungkinan-kemungkinan kecil dimana kau bisa saja menjadi penghalang kebahagiaan kami. Aku sudah menyiapkan semua keperluanmu, dari tiket sampai tempat tinggal di sana, aku juga sudah mendaftarkan namamu ke salah satu anak perusahaanku di Amerika. Anggap semua lunas." Jelasnya tanpa keraguan ataupun rasa bersalah. Erik terkekeh sinis. Yah, walaupun dia sangat ingin memukul Liam hingga tersungkur ke tanah dan merakan bagaimana rasa kotoran itu menyentuh pakaian dan kulitnya, namun dia menahan semuanya. Ia lelah, jujur ia lelah. Ia ingin semua ini cepat berakhir dan pergi jauh dari jangkauan Audreanza.
Erik meraih kasar amplop coklat itu dan meraih tiket serta passaport nya, 'Hedrik Gustiar Jenskin'. Penerbangannya siang ini. Ia pun berlalu pergi dari sana tanpa menoleh ataupun mengucapkan sepatah kata pun pada Liam.
Liam menatap kepergian taxi bandara yang membawa Erik dengan senyuman penuh kemenangan. Ia pun meraih ponsel dan menekan panggilan X di sana.
"B 2345 XQ"
"Baik tuan."
"Pastikan kematiannya." Liam menutup panggilan itu dan membuang nafas pelan.
"Sorry, Erik. Aku tidak suka merasa resah. Begini lebih baik." Monolognya dan berlalu pergi, menemui seorang wanita yang akan selalu menjadi candunya di kehidupan ini dan kehidupan yang lainnya, karena tidak ada seorang pun yang boleh memisahkan mereka.
"I'm willingly offer my soul to the devil, to against the fate of God, so that I can always be with you, Hanah. That's how much I love you."
----
"ARRGGHH!! Raka! Raka! RAKA!! Bajingan brengsek!" Angga melempar, membanting dan memukul segala sesuatu yang berada di kamarnya. Ia sudah menerima kabar dari Kehan untuk pergi ke caffè langganan mereka, alih-alih ke tempat tujuan, ia justru melihat mobil Raka terparkir di sebuah caffè lain yang jaraknya beberapa kilo dari caffè langganan mereka. Entah dorongan dari mana, ia pun meminggirkan mobilnya dan mencari tau. Karena setaunya, caffè itu adalah tempat yang kerap yang kunjungi bersama cinta pertamanya dulu. Dan benar saja, di sana ia menemukan Raka kembali bertemu dengan Mona.
Padahal ia sudah berbaik hati memberika Deka untuknya, namun begini hasilnya. Yah, memang ini bukan sepenuhnya salah Raka. Ini adalah salahnya, ia merasa dirinya tidak bisa menghibur Deka karena sifat kakunya dan justru meminta bantuan Raka karena tau Raka sangat mudah bergaul. Bahkan saat mengetahui mereka berpacaran ia sempat merasa cemburu dan sakit hati, namun jika itu membuat Deka bahagia, maka ia juga bahagia. Tapi ternyata, wanitanya di kelilingi oleh para bajingan menjijikan.
"Maafkan aku, Hanah. Maafkan aku." Angga meluruh dan mulai terisak. Ia meremat dadanya kuat karena sesaknya sangat menyakitkan.
"Kau harus tau kelakukannya, kau harus sadar kalau pria yang kau cintai lagi-lagi menghianatimu!" Angga pun meraih ponsel yang lain, dan mulai melancarkan niatnya, yaitu mengirimkan foto-foto bukti perselingkuhan Raka dengan Mona, seperti yang ia lakukan pada Liam dan Lucy.

KAMU SEDANG MEMBACA
Leal
RomanceMalam yang sunyi itu menjadi saksi pertengkaran antara Deka dan Raka sekaligus menjadi saksi perpisahan mereka. Sebuah kisah dimana salah satu dari mereka berdoa pada sang malam untuk dapat mengulang takdir, agar semua yang harusnya menjadi masa dep...