38

1.8K 78 0
                                    

Bita sedang merasa sangat kacau. Kedua orang tuanya sedang ke Switzeland untuk mengantar oma dan opa. Dia sendiri di rumah megah itu, menangis. Bita tau, dia sadar ini semua bukan sepenuhnya salah Deka. Andai dia tau ini lebih cepat, andai Deka menceritakannya lebih awal, maka ucapan-ucapan dimana dia mendukung hubungannya dengan Raka akan dia kubur dalam-dalam. Membuat mereka tidak bersatu.

Disatu sisi, dia sedih mendengar cerita Deka yang ternyata mengalami perlakuan kasar dari Raka di masa depan, padahal dirinya yang paling bersemangat menjodoh-jodohkan mereka. Dan disatu sisi lain, Ayah Lukas. Dia tidak tau, haruskah dia menganggap ini semua salah Deka? Tapi mau bagaimana pun dia berpikir ini bukan salah Deka, akalnya tetap menolak kenyataan itu. Deka dengan sadar melakukan tindakan yang mempercepat jalannya takdir. Dia mendahului apa yang seharusnya, namun dia tidak bisa memungkiri juga kemungkinan jika Deka tidak mengubah takdirnya maka tidak ada akibat lain yang terjadi. Semua serba salah.

Dering telpon Bita kembali terdengar, Deka menghubunginya beberapa kali dan dia menolaknya. Dia sedang tidak ingin diganggu, dia tidak ingin ada yang lain yang menjadi tumbal keegoisan sahabatnya. Bahkan benda pipih itu tetap menyala menampilkan layar gps kedua orang tuanya di luar sana, dia tidak bisa berpikir logis lagi hingga hal yang terlihat aneh ini dia lakukan sedari keluar dari gedung apartemen itu. Walaupun dia sadar, Deka juga mungkin ikut terseret ke dalam bahaya namun saat ini hati dan pikirannya hanya fokus menyalahkan Deka.

Telpon rumah yang berada di nakas berdering, dia sedang malas beranjak dari kasur namun nomor yang muncul di layar hijau itu berasal dari pos satpam kedimannya.

Bita mengangkat telpon itu, takut-takut ada sesuatu yang darurat. "Hallo pak Heri, ada apa?" Jawabnya dengan lemah. "Hallo non? Maaf mengganggu, tapi ini ada anak muda yang bernama Kehan meminta izin untuk masuk, katanya pacarnya non Bita" Bita melebarkan matanya sekilas dan melirik ponselnya, ternyata bukan hanya panggilan dari Deka, panggilan dan pesan dari Kehan tak kalah banyak memenuhi lock screen-nya. Dia belum mengabari lelaki itu sedari sore karena sibuk dengan urusan kantor, bahkan tadi dia sempat mengajak Liam untuk pulang saja dan istirahat dari tumpukan kertas-kertas itu, namun dia tetap bersikeras duduk berjam-jam disana dengan penyinaran hanya dari lampu downlight. Dia bahkan berani bertaruh, Liam belum juga beranjak dari tempatnya terakhir saat Bita pergi dari ruangannya.

Bita merutuki dirinya sebentar karena membuat Kehan khawatir. "Kasih masuk saja pak, tidak apa-apa." Jawabnya sembari menghapus air matanya yang terus mengalir. "Baik non" sahut pak Heri, kemudian membukakan gerbang elektrik itu dengan menekan tombol yang sudah berjejer rapi di hadapannya.

Tak berselang lama, Bita pun turun menuju ruang tamu dan sudah menemukan Kehan yang menguarkan aura kesal. Namun saat mereka bertatapan, seketika raut wajahnya berubah drastis menyadari betapa sembabnya wajah perempuan itu. Tanpa basa basi, Kehan langsung beranjak dan menghampirinya.

"Hey hey, what's wrong? Kenapa? Ada apa? Kenapa bisa begini wajahmu? Apa yang terjadi? Apa aku ada salah?" Kehan langsung mendekap Bita penuh khawatir, menyembunyikan wajahnya di dada bidangnya. Bita yang mendengar pertanyaan itu semakin kehilangan kewarasannya, dia mulai menangis keras dan mengeratkan pelukannya pada Kehan.

Kehan semakin tidak tenang, dia langsung mengangkat Bita ala koala dan mendudukan dirinya di sofa, memangku Bita yang masih sesenggukan. Kehan terus mengelus punggung kecil yang naik turun karena tangis itu. Sesekali ia membelai surai hitam kekasihnya, mengecupnya lembut.

Setelah beberapa saat, Bita mulai tenang. Menyadari itu, Kehan kembali bersuara, "Wanna talk?" Tanyanya. Bita sedang menyenderkan kepalanya pada bahu Kehan, dengan hidung dan mata yang merah.

"Aku bertengkar dengan Hanah" jawabnya dengan cegukan kecil. Kehan menaikkan satu alisnya bingung, beberapa saat dia masih merasa asing mendengar nama Hanah itu dipendengarannya. "Is it that bad?" Tanyanya lagi dan Bita mengangguk, kembali terisak. Bisa dikatakan, ini adalah perkelahian pertama mereka. Mereka tidak pernah berselisih pendapat sebelumnya, karena walaupun kepribadian mereka bertolak belakang, namun keinginan dan pandangan mereka pada hampir semua hal itu sama.

"I'm sorry to hear that. Sudah tidak apa-apa, perkelahian antar sahabat itu biasa terjadi, kalian hanya harus berusaha mengerti posisi dan pendapat satu sama lain. Bicarakan dengan kepala dingin besok, saat ini mungkin kalian sedang merasa lelah, jadi yang keluar hanyalah amarah" Bita hanya diam sembari sesekali menyeka air mata dan ingusnya di lengan baju merk Dolce Gabbana yang Kehan kenakan tanpa protesan apapun dari lelaki itu.

Bita mengangkat pandangannya, sekilas ia dapat pikiran buruk, bagaimana jika Kehan.. tidak dia tidak bisa, dia tidak mau tapi mengapa rasanya sangat sulit menyingkirkan pikiran buruk itu. Bita kembali terisak dan menjatuhkan kepalanya pada dada Kehan. Kehan kebingungan, apa lagi?

"Jangan pergi, jangan pergi, aku tidak mau kau pergi. Jangan mati" Kehan tidak bisa tidak menganga mendengar rancauan Bita. "Hey? What are you talking about? I'm not going anywhere, banana." Bita semakin terisak mendengar ucapan Kehan yang memanggilnya dengan sebutan itu, dapat dia rasakan getaran pada tubuh Kehan karena tertawa mendengar rancauan Bita yang sangat absurd dan tiba-tiba.

Memangnya dia menderita sakit keras? Dia ini rajin olahraga walaupun gaya hidupnya berantakan. Otot-otonya masih sangat keras dan sanggup untuk berkelahi melawan 10 begal sekalipun. Sabuk hitamnya sudah menjadi bukti bahwa akan sesulit itu untuk membunuh dirinya.

"Don't laugh, just say it, you won't leave me, promise me you won't die." Kehan kembali terkekeh. "Sayang, aku tidak mengerti mengapa kau begini, tapi percayalah, akan sangat sulit membunuh pria ini, karena siapapun yang berencana membunuhku pasti akan kalah duluan karena pacarku ini punya suara ultrasonic yang mematikan" Bita tertawa disela-sela tangisnya dan memukul kecil dada Kehan.

"Gitu dong, jangan menangis terus. Lihat, matamu sampai setipis tisu daur ulang" candanya dan berhasil membuat Bita tergelak geli membayangkan tisu daur ulang yang hanya terkena nafas akan koyak itu.

"I won't leave you, banana. I promise, trust me, okay? Bila perlu kita nikah saja besok agar kau bisa melihatku setiap hari tanpa lecet sedikitpun. Aku hanya ingin kau yang menjadi pengantinku, jadi untuk apa aku pergi meninggalkan perempuan ini? Aku akan sangat rugi" hiburnya. Mereka berpelukan cukup erat kali ini, Kehan mengayunkan pelukannya pelan untuk menenangkan sesenggukan kekasihnya, dan hal itu berhasil membuat Bita bersemu.

Hingga pelukan itu terpaksa mengendur karena deringan telpon rumah yang berada di atas nakas. Nomor telpon Liam tertera disana, apa dia akan mengabarinya untuk tidak pulang lagi? Padahal Papa sudah berpesan padanya untuk pulang dan istirahat, dasar es kutub itu! Bita membatin.

"Hallo?"

...

LealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang