37

1.4K 67 2
                                    

Deka's POV

Bita menatapku dengan mata yang sudah sepenuhnya basah. "Apa yang sudah kau lakukan, Hanah?" Tanyanya dengan nada datar. Aku mengangkat pandanganku dan menemukan Bita yang sedang menatapku, marah?

"Aku tau, aku bodoh, lemot dan tidak akan pernah bisa mengerti hal-hal yang menurut orang lain simple, tapi ini? Baiklah, anggap semua itu benar, I believe you dari caramu bercerita dan dari segala hal yang seharusnya kau tidak tau menjadi tau, terutama foto ini. Tapi, dengan kau yang mendahului takdir, tidakkah kau berpikir akan ada yang berdampak buruk ke depannya? Dalam hal ini, ayah Lukas?" Aku menatapnya bingung, kemana arah pembicaraannya sebenarnya.

"So, If its not because your selfishness who came back from the future trying to change and settle every things that doesnt come in your way, and therefore as a payment, ayah Lukas became the sacrifice??"

'A-apa katanya?' Batinku, mengapa dia membawa-bawa ayah Lukas? Payment? Sacrifice?

"Tidakkah kau berpikir begitu? Why are you doing this? Does it not bother you? Makes you think this shouldn't have happened if i let the time work as is it? You literally scared out the fck of me, how could you? You sacrificed ayah Lukas for a glimpse of future that u don't know if its gonna become what you want in this lifetime? Don't you realize just by the fact that you came back from the future it has changed the future itself? Why Hanah? Does it not make you think that what happened in your future is the sign that you two are not meant to be?! A sign for you to avoid that fate, he treated you with the worst acts I've ever heard of, and now you want him one more time? Have you completely lost your mind? Do you even know your worth? You. are. the. angel. In our family. Permata yang sangat berharga di Pertakaza pun Audreanza. Your parents, my parents and Liam's parents raised you with love, and he cruelly abused you physically and verbally and you still want him? And selfishly after torturing you in such a way he escaped by killing himself and suddenly everything became your fault, your responsibility? Apa ada yang lebih aneh dari semua ini, Hanah?" Jujur, aku tidak tau harus mengatakan apa. Bita benar, tidak ada satupun dari pertanyaan-pertanyaan itu terlintas di pikiranku selama ini, yang ada hanya Raka. Bagaimana membuat Raka bahagia dan menyelamatkannya. Bahkan dengan tidak tau malunya aku mengenyahkan pikiran tentang kematian Ayah Lukas yang mungkin memang berhubungan dengan kembalinya aku ke masa lalu dan merubah beberapa kejadian yang seharusnya tidak seperti itu. Jika memang benar itu penyebabnya, apa yang sudah aku lakukan?

Aku hanya menunduk dalam, kali ini dia benar-benar membuatku tidak bisa mengatakan apapun. Bahkan tenggorokanku terasa sangat berat dan hanya bisa menatap kosong selembar foto yang aku genggam.

"Answer me?!!! Kenapa kau hanya diam?!!" Kami mulai saling memandang dengan mata yang sudah berlinang air mata. Terlihat jelas Bita sedang menatapku dengan tatapan penuh kemarahan, sedangkan aku menatapnya nanar. Apa semuanya memang sebuah kesalahan? Kesalahan yang seharusnya aku hindari dengan kembalinya aku ke masa ini? Apa kesempatan ini memang bertujuan untuk aku menyelamatkan diri dari takdirku? Bukan Raka?

"Tidakkah saat ini kau penasaran, apa dan siapa lagi yang akan menjadi tumbal dengan kembalinya kau kemari dan merusak tatanan yang seharusnya? Salahkah sekarang aku merasa sangat was-was berada di dekatmu?"

Deg

Aku menatapnya kosong, tapi jantungku sedang berdetak tak karuan, apa yang baru saja dia katakan? Apa kata-kata itu pernah terlintas di kepalaku? Tidak, kepalaku hanya penuh dengan Raka dan tidak ada ruang untuk yang lain, tapi dengan tidak tau malunya akulah yang merasa paling tersakiti dengan kematian ayah Lukas, padahal aku sadar, dengan kembalinya aku ke masa lalu, pasti akan ada bayaran yang harus ku tebus, alam tidak semurah hati itu.

"I'm done with this, you..." Dia menahan ucapannya, terdengar seperti kesulitan untuk mengatakan hal yang buruk padaku. "He failed you once, dan dengan bodohnya kau ingin merasakannya lagi, dengan harapan kau yang memperbaiki diri akan membuatnya berubah, justru dialah yang harusnya memiliki kesempatan kedua! bukan kau!" Di menjeda lagi ucapannya, beranjak dari sofa, mengatur nafas dan mengibas-ngibaskan tangannya yang terasa kebas karena sedari tadi dia terus mengepalnya. "What a brilliant Dekara. I'm done, you disappoint me, I don't even know how to hate you by this, but I don't want to talk to you. I'm leaving." Tanpa bisa menjawab bahkan mencegahnya, aku hanya diam. Dia benar, apa dengan aku yang memperbaiki diri dia akan berubah? Apa takdir kami akan berubah? Aku tidak pernah berpikir sampai sana.

Padahal aku sadar apa itu butterfly effect, tapi tak disangka aku sebuta itu untuk melihat perubahannya, atau mungkin aku tidak ingin mengakuinya? "Maaf.. maaf" akupun mulai menangis dalam diam, tetap menggumamkan kata maaf untuk ayah Lukas, untuk Liam. Karena jika ini semua tidak aku lakukan, mungkin saat ini ayah Lukas masih bersama kami, masih bersama Liam.

Aku mendengar bantingan cukup keras pintu apartemenku, ku rasa Bita sudah pergi dengan segala amarah dan kekecewaannya padaku. Aku kembali menangis, menyadari dalam keadaan seperti ini aku pun tetap sendiri. Yah, tidak bisa ku salahkan siapapun, aku yang meminta Tuhan untuk memberiku kesempatan kedua, tanpa bernegosiasi tentang bayarannya. Aku marah, aku marah dan menganggap diriku sendiri menjijikan, apa yang aku bisa lakukan untuk mengembalikan semuanya seperti semula? Aku hanya bisa bertanya-tanya tanpa ada yang bisa menjawabnya. Lagi.

Aku memeluk selembar foto koyak itu erat, merebahkan tubuhku sejenak. Memikirkan segala hal yang mungkin saja akan terjadi sebentar lagi. Bita benar, tidak mungkin aku kembali kemari tanpa membayar apapun. Tapi aku sungguh tidak tau bagaimana cara kerjanya, aku pun tidak tau apa yang sudah aku tawarkan pada Tuhan hingga ia memperbolehkan mukjizat ini terjadi padaku.

'Aku harus memulai semuanya darimana?'

Tanpa aku sadar, aku meraih benda pipih itu. Berusaha mencari nama kontak yang pikiranku inginkan. Aku ingin ditemani malam ini, walaupun aku tidak bisa menceritakan alasan mengapa aku seperti ini, tapi aku ingin ditemani malam ini. Aku hanya ingin menangis tanpa menjelaskan apapun. Beberapa kali aku hanya mendengar deringan, apa yang ku harapkan? Tentu saja saat ini dia sedang sibuk dengan kegiatannya.

Aku menaruh kembali ponsel itu. Kenyataan dimana panggilanku pun tidak dijawab membuatku semakin terpuruk, aku hancur malam ini. Aku terus berhalusinasi tentang hal yang buruk semenjak Bita bertanya siapa yang akan menjadi korban lagi? Papa, Mama, Kak Seze, Baby Shea, Papa Anton, Mama Kesya, Bita atau Raka?

Semua kemungkinan-kemungkinan itu bagaikan pisau tajam yang membelah kulit kepalaku perlahan, menancapkannya perlahan. Aku menarik rambutku kuat, berharap rasa sakitnya terangkat.

Hingga dering telpon membuatku terkesiap dari self-harm yang tanpa sadar sedang aku lakukan, beberapa helai rambutku mengisi sela-sela jariku, tapi aku tidak peduli. Tanpa basa-basi aku langsung mengangkat panggilan itu. "Hanah?" Sapanya dari seberang sana, terdengar bingung juga ragu. Suara serak yang cukup ku rindukan, betapa gilanya aku. "Liam" sahutku dengan suara parau dan sengau. Dia tidak mengatakan apapun dan langsung menutup telponnya. Namun sebelum itu, aku mendengar gesekan kaki kursi pada lantai yang cukup nyaring dan derapan langkah cepat. Aku tau dia sedang khawatir, aku tidak perlu memberitahunya apa dan kenapa, karena dia sangat hafal diriku dan sosoknya akan berada disini beberapa menit lagi.

'Cepatlah' gumamku pelan.

Pemanis

-anggap aja kasurnya single-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-anggap aja kasurnya single-

LealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang