42 || Zaidee's Broken

202 4 0
                                    

Beberapa hari setelah kabar tentang Gallan menghamili mantan pacarnya mulai merebak di keluarga Zaidee. Adel hanya terdiam saja di kamarnya karena ia sendiri juga sibuk dengan pikirannya. Belum lagi hubungannya yang kandas dengan Zein. Ia tahu, ia sudah mengecewakan lelaki itu. Bahkan sebelum semuanya terjadi.

Sementara Victor, jangan ditanya bagaimana reaksi lelaki paru baya itu ketika mendengarnya. Tamparan hingga pukulan sudah Gallan terima dari Victor kala itu, Gallan hanya bisa terdiam seraya menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Evi tidak bisa membantu karena ada larangan keras dari sang suami.

"ANAK NGGAK TAU DIRI! SELAMA INI PAPA SUDAH MEMBERIKAN APA YANG KAMU MAU, GALLAN!"

"PAPA KECEWA SAMA KAMU!"

"ANAK SIALAN!"

"Baru ini papa berani mengeluarkan kata-kata itu untuk kamu, Gallan!"

"Mau taruh di mana muka papa?!"

"Apa kata orang, keluarga dan kolega papa nanti!"

Itulah kata-kata yang terlontar dari mulut Victor ketika ia memberi pelajaran kepada anaknya di ruang kerjanya. Tak segan-segan setelah kepulangan Vaness kala itu Victor langsung menggeret Gallan masuk ke sana.

Kini, semua sudah berkumpul di ruang tamu Zaidee, kecuali Adel. Ia tidak mau ikut campur dalam masalah tersebut.

"Kamu mau bagaimana?" Di dekat perapian, Victor duduk di sebuah sofa empuk. Kedua matanya menatap api menyala yang tengah membakar kayu-kayu. Suara percikan kecil dari perapian membantu menemani suasana hening di ruang tersebut.

Di depan Gallan, Ada Evi yang tertunduk dengan meremat jari-jari tangannya. Rasa nyeri masih menjalar disekujur tubuhnya. Ia teringat akan ucapan Mbok Imah kala itu. Keduanya seakan sudah memperingatin agar Evi bisa selalu di rumah untuk memantau pergerakan anak-anak mereka. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Hal itu bagaikan angin lalu yang tidak mungkin bisa diulang.

Sementara Gallan, ia juga tertunduk. Kini kondisi Gallan begitu memprihatinkan, ia yang biasanya selalu bikin ulah, sekarang lebih banyak diam. Bahkan di kampus Gallan lebih sering menghabiskan waktu besama Elhan. Berita tentang kehamilan Vaness memang sudah merebak di sana. Namun, bukan Gallan yang menjadi pelakunya, melainkan Arion. Merasa malu, Vaness memilih keluar dan tidak berkuliah lagi. Sementara Arion memilih pindah kampus.

Semua itu Gallan sudah mengetahuinya dan rasa bersalah baru ia sadari setelahnya.

Merasa tak ada jawaban, Victor berganti posisi agar bisa menatap anaknya. "Nggak punya mulut? Biasanya selalu ngelawan."

Evi memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, ia menatap Gallan dan Victor secara bergantian.

"Gallan-"

"Apa? Mau nikahin pacar kamu itu?"

Gallan menggeleng.

"Dia hamil, Gall. Kamu harus tanggung jawab untuk menikahinya." Celetuk Evi dengan suara yang cukup pelan.

Gallan menghela napas pelanTapi Gallan udah nggak cinta sama dia."

Victor bangkit, emosinya kembali membuncah dan langsung menghampiri Gallan serta menarik kerah baju lekaki muda itu. Dengan sorot mata yang penuh amarah, Victor berucap. "KAMU MAU JADI BAJINGAN, HAH?! KAMU HARUS TANGGUNGJAWAB! GILA KAMU SEENAKAN JIDAT BILANG NGGAK CINTA SAMA DIA?!"

"Mas jangan pakai kekerasan lagi, udah." Evi berusaha menarik tangan suaminya. Setelah mengeluarkan tenaganya, akhirnya Evi bisa melepaskan cengkraman Victor dari Gallan.

Gallan semakin menunduk, kini kedua matanya mengeluarkan cairan bening tanpa diperintah. Ia sangat malu, tak seharusnya ia menangis seperti ini. Victor menjauh beberapa langkah  menetralisir amarahnya yang sudah di ujung tanduk.

"M-Maafin Gallan, Pah. Tapi Gallan merasa tersiksa kalau sama dia."

"Kalau tersiksa kenapa kamu mau sama dia?! Kenapa kamu berani berbuat sejauh itu, Gall. Kamu nggak mikirin orang tua kamu? Selama ini papa kasih apa yang kamu mau dari kecil. Sepeninggal almarhum mamamu, papa berusaha selalu ada waktu buat kamu agar kamu nggak kekurangan kasih sayang."

"Setelah dewasa seperti sekarang, papa berusaha untuk bebasin kamu. Papa juga meminta izin atas keputusan papa yang ingin menikah lagi. Kenapa sekarang balasan kamu seperti ini?"

"Kenapa diam terus? Kamu tahu, di kampus berita ini sudah tersebar. Papa mati-matian memohon dengan rektor kamu agar kamu tetap kuliah di sana." Jelas Victor.

"Tapi namanya bangkai akan tercium juga baunya, Gallan. Terakhir Papa dengan jika Vaness keluar dari sana. Apa kamu nggak memikirkan nasib anak itu?"

Gallan memberanikan diri untuk menatap Victor. "Sejauh sebelumnya, Gallan udah minta pisah sama dia, Pah. Tapi-"

"Itu nggak ada hubungannya! Sekarang semua terjadi itu sudah membuktikan kalau kalian selama ini pacarannya sudah sejauh itu. Kamu pikir Papa bodoh? Papa juga pernah muda, Gall."

Gallan bungkam. Perkataan Victor benar adanya, ia dan Vaness sudah sangat jauh. Saat ini ada balasan bagi keduanya. Lelaki itu kembali tertunduk dan membisu, hingga suara Evi mampu membuat dirinya mengangkat kepalanya lagi. "Nak."

Wanita itu berpindah duduk di samping Gallan.
"Maafkan mama dan papa yang mungkin kurang perhatian sama kalian. Maafkan mama dan papa yang nggak ada waktu bareng kalian."

"Evi, apa-apaan sih kamu? Nggak usah minta maaf! Jelas-jelasan anak ini yang salah. Gila kamu, ya!" Sentak Victor.

"Kasih aku waktu untuk ngobrol sama Gallan, Mas. Kali ini aja." Ini bukan kesekian kalinya Evi meminta seperti itu. Sebelumnya sudah pernah tetapi Victor melarangnya, sekarang Victor akan memberikan waktu tersebut kepada keduanya.

"Terakhir. Setelah ini aku mau anak ini tanggungjawab dengan perbuatannya." Victor meninggalkan ruang keluarga itu dengan langkah lebar.

Tertinggal Evi dan Gallan yang masih diselimuti keheningan antara keduanya.

"Gallan, kamu adalah laki-laki baik menurut mama. Papa kamu merawat kamu dengan baik, mama senang bisa punya anak sambung seperti kamu. Gallan, kebebas yang kamu jalani bisa disebabkan oleh kelalaian kami sebagai orang tua." Tutur Evi lembut.

"Kami minta maaf," Evi menghapus sisa air mata di pipi Gallan. "Kamu nggak mau, kan, kecewakan mamamu di surga sana?"

Mendengar itu, Gallan mengangkat kepalanya dan menoleh ke arah Ibu sambungnya itu.

Evi tersenyum hangat, "kamu adalah laki-laki, jadi tanggungjawab itu sangat penting. Kamu sadar kamu sudah mengecewakan orang tuamu. Sadar kesalahan yang kamu perbuat sudah merugikan orang sekitar."

"Kasih Gallan waktu, Mah."

"Maksud kamu?"

"Kasih Gallan waktu untuk menyelesaikan masalah ini."

"Kapan? Ini harus cepat diselesaikan, Nak."

Gallan menghela napas pelan. Tiba-tiba suatu rencana muncul di otaknya. "Kasih Gallan waktu selama seminggu. Gallan mohon."

Sorot mata Evi terlihat tidak sepenuhnya percaya. Ia mengingat amarah Victor jika Gallan meminta waktu lagi.

"Gallan janji. Hanya seminggu. Gallan akan kasih tau kalian keputusan apa yang Gallan ambil nanti. Tolong, kasih pengertian ke papa, Gallan mohon." Suara Gallan bergetar, tangannya menggenggam tangan Evi dengan kuat. Seakan ucapan Gallan barusan benar-benar serius.

Akhirnya dengan segala pertimbangan di dalam kepalanya, Evi mengangguk setuju. "Hanya seminggu. Mama akan bantu bicara dengan papamu."

Gallan tersenyum ia memeluk Evi dengan erat. Baru ini ia merasakan lagi pelukan seorang Ibu. Di sudut ruangan, terlihat Adel yang ternyata diam-diam memperlihatkan semuanya. Ketika mendengar suara teriakan Victor, gadis itu memilih keluar kamar.

"Rasanya sesak banget." Keluh Adel pelan.

•••••••

STEP [LOVE] BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang