11 | With Her

1.4K 27 0
                                        


Gallan berjalan di lorong rumah sakit dengan langkah sedikit terburu-buru. Terakhir kalinya ia mendengar suara Vaness, ketika gadis itu merintih kesakitan di apartemennya. Awalnya Gallan ingin ke apartemen Vaness, namun terurung lantaran security memberitahunya jika Vaness sudah di larikan kerumah sakit terdekat.

Helaan napas Gallan terdengar ketika tangan kekarnya meremat knop pintu tempat dimana Vaness di rawat. Ia membuka beberapa detik kemudian dan pandangannya langsung menuju bankar yang sudah diisi oleh Vaness di sana.

Gallan mendekat setelah pintu tertutup, terlihat kedua mata Vaness tertutup dengan sisa air mata yang masih terlihat di sana.

Gallan duduk di kursi yang sudah tersedia, jarinya tertuntun untuk menghapus sisa air mata di pipi Vaness.

"Gue sudah datang, Ness." Ucap Gallan pelan.

Sejujurnya, Gallan tidak tega membiarkan Vaness selalu seperti ini di kala gadis itu merasa tertekan. Vaness sudah seperti anak yatim piatu. Bahkan saudaranya sudah tidak peduli dengan gadis itu.

Di sisi lain, Gallan tidak ingin berlama-lama dengan Vaness. Menurutnya, gadis itu menjadi beban bagi hidupnya. Meski Vaness tidak terlalu bawel, namun sifat manja dan ancamannya membuat Gallan gerah.

Gallan melihat perban pada pergelangan tangan Vaness, untung saja Vaness cepat di tolong.

Terhitung sudah dua kali Vaness menyayat pergelangan tangannya. Namun, gadis itu selalu berhasil selamat.

"Ness..." Panggil Gallan pelan, ia juga menggengam lembut tangan Vaness.

"Dulu gue pernah bilang, seberapa beratnya masalah hidup lo, jangan coba buat bunuh diri. Lo bego banget, sayat-sayat tangan mulus lo ini demi ego tinggi lo itu."

"Nyokap lo pasti marah di atas sana lihat anaknya seperti ini."

Gallan menarik tangannya, ia bersandar pada kursi yang ia duduki. Kedua tangannya melipat di depan dada seraya kedua mata yang tak lepas menatap Vaness.

Kalau saja dulu gue nggak sebaik itu, mungkin sekarang hidup gue nggak beban karena ulah lo, Ness.

Setelah hampir setengah jam Gallan menunggu Vaness, gadis itu akhirnya siuman yang membuat Gallan menegakkan tubuhnya.

"Ness, sudah sadar? Ini gue Gallan."

Vaness menggeliat pelan, ia mengerang kesakitan ketika mencoba mengangkat tangannya ke udara.

"Jangan di angkat, sakit, kan."

Vaness terkejut ketika mendengar suara lelaki tak asing di telinganya. Ia menoleh dan mendapati Gallan yang terlihat khawatir.

"G-Gallan, k-kamu datang?" Tanyanya parau.

Kamu nanyeak? Kamu bertanyeak-tanyeak kenapa aku datang? Semua ini karena ulah tolol lo bego!

Gallan mengangguk, "Lo kenapa begini lagi? Apa gue buat salah? Kemarin gue sudah tepati janji untuk jalan sama lo, apa masih kurang?"

Vaness terdiam sejenak, ia berusaha mengumpulkan kesadarannya. Alat bantu napas di hidungan membuatnya ingin melepas, tetapi di tahan oleh Gallan, mengingat Vaness suka sulit bernapas jika sedang seperti ini.

"Lo mau mati beneran?"

Vaness masih terdiam.

"Kalau lo mau mati nggak usah hubungi gue. Lo mati aja sendiri, jangan bikin gue susah, Ness. Hidup gue bukan cuma tentang lo doangan." Lanjut Gallan dengan nada suara datar, namun setiap kata-kata yang terlontar sukses membuat Vaness semakin bungkam.

STEP [LOVE] BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang