31. Masalalunya Punya Cerita | S2

577 59 70
                                    

Dia, masalalunya dan 2013 punya cerita tersendiri.

3 hari setelah kejadian itu, seorang remaja berusia 13 tahun hanya bisa meratapi nasibnya.

Bukannya mendapatkan kabar bahagia dan juga suara tawa dari anak itu, dirinya malah mendapatkan sesuatu yang bukan salah nya.

“Tuhan.. gue salah apa sampai dapet karma kayak gini?” Cowok itu menghela nafasnya gusar. Sekarang, dirinya tengah duduk di bangku taman, dari sepulang nya dari sekolah.

“Hancur. Apa yang bisa gue pertahanin lagi kaloh udah kayak gini? Apa gue harus nungguin waktu untuk berbaik hati dengan gue, buat ngukap segala kebenarannya?”

“Tapi, gue gak tau sampai kapan waktu itu mau berhenti bermain dengan gue. Dan sampai kapan gue jatuh pada fase ini? Fase yang dimana mendapatkan dukungan, kasih sayang dan banyak tawa canda seketika lenyap, hanya karna satu kesalahpahaman saja.”

“Sekarang gue tau, rasanya gak dipercayai orang lain, keluarga sendiri, bahkan gak dianggep keberadaan nya itu sakit. Bahkan sakitnya melebih luka yang dibuat karna tak sengaja jatuh di aspal yang kasar.”

“Ray, lo gimana disana? Pasti bahagia banget kan? Gak ngerasain jantung lo yang sakit akibat ditusuk sama pisau kan? Gue bahagia kaloh liat lo bahagia disana, walau gue disini harus meredam sesuatu yang bukan salah gue.”

“Gak papa, Ray, gue tau Tuhan itu gak pernah tidur. Gue yakin suatu hari nanti, ada keajaiban yang Tuhan kasih ke gue. Bahagia selalu disana ya?”

Cowok itu hanya bisa curhat dengan angin yang selalu berhembus di taman Anggrek, taman itu memang sedang sepi saat ini.

Tidak ada satupun orang yang mampu mendengar ucapannya, menolongnya, keluhannya, hanya dia, angin, Tuhan, dan waktu saja yang dapat mendengar dan melihatnya.

“Sesuatu yang gue harapkan untuk selalu indah, pada akhirnya akan kembali menjadi suram. Lahir didunia menjadi suatu alasan untuk kita mengenal dunia, selain kata indah dan bahagia.” Cowok dengan pakaian putih–biru itu kembali memandangi jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan nya yang sedikit mulai berurat.

14.29 PM.

Sudah hampir 2 jam cowok itu hanya duduk, melamun dan curhat disini. “Kaloh biasanya, pulang kerumah bakalan dapet sambutan dan perasaan khawatir dari Mama apalagi ocehan nya karna pulang telat, gak izin lagi, tapi sekarang malah mendapatkan sikap acuh tak acuh dari seseorang yang pernah ngelahirin gue didunia ini.”

“Gue pulang atau enggak, juga bukan urusan Mama. Seakan–akan Mama memang mau melepas tanggung jawab dia, dari gue,” Cowok itu lantas berdiri, ia mengadakan pandangannya kearah langit yang agak mendung.

“Bahkan langit pun tau, kaloh gue sedang berkabung.”

.
.
.

Sepanjang jalan remaja SMP itu, hanya mendapatkan tatapan sinis dari para warga kompleks Desurey. Namun pandangan sinis bahkan kata–kata sindiran itu tidak membuat pemuda itu tersulut emosi untuk membalasnya.

Toh juga bukan dirinya yang bersalah kan? Lagi pula Halilintar juga berpikir seperti ini, gak papa mereka ngomongin gue yang enggak–enggak senggaknya dosa gue ke mereka dan pahala mereka ke gue, untung di gue, rugi di mereka.

‘Muak banget anjir liat tuh bocah, masih SMP aja udah kayak gitu perbuatannya.’

‘Jiwa–jiwa pembunuh, biasa lah. Tapi gue heran, orang tuanya kan adem ayem gitu, tapi anaknya kayak iblis sumpah. Melenyapkan nyawa yang tidak bersalah.’

We Are Sorry Halilintar | S2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang