Dua

53.1K 3K 33
                                    

"Kemeja linen hijauku jangan lupa dimasukkan, Ra!" seru Arya dari dalam kamar mandi.

Zayra, yang sudah hafal letak semua koleksi kemeja suaminya, mengernyit mendengar permintaan itu. Lagi-lagi kemeja hijau yang membosankan itu. "Kemeja itu lagi mau kamu bawa, Mas?"

Bagaimana tidak bosan, setiap kali ada acara atau pekerjaan ke luar negeri, Arya selalu meminta kemeja linen hijau itu. Zayra merasa sudah terlalu sering melihat Arya mengenakannya. Padahal, jumlah kemeja Arya di lemari cukup untuk membuka toko pakaian sendiri.

"Kemeja kamu kan banyak, Mas! Masa pakai yang hijau rumput itu lagi?" protesnya sambil melipat beberapa baju lainnya.

Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Arya keluar dengan rambut basah, menyibakkannya ke belakang sambil menghela napas panjang. "Kemeja itu lagi-itu lagi, kamu bilang? Asal kamu tahu ya, Ra, kemeja yang kamu bilang warnanya kayak rumput itu adalah produk paling laris sepanjang sejarah Carlo Group berdiri. Sebagai bos, aku bangga mengenakan simbol kesuksesan perusahaan di pertemuan-pertemuan formal antar klien."

"Udahlah! Kamu lipat dan masukin aja. Banyak protes banget!" ujarnya ketus sambil mengusap rambutnya dengan handuk.

Zayra hanya mendengus kecil. Semakin bosan saja ia mendengar pembelaan Arya yang terdengar angkuh. Salahnya juga sih, memprotes seorang bos yang hobi bicara panjang lebar. Arya sudah berkali-kali menyebut kalau kemeja itu laris manis di pasaran, bahkan katanya jadi simbol kesuksesan Carlo Group. Tapi sampai sekarang, Zayra jarang sekali melihat orang lain memakai kemeja hijau rumput itu.

Bukan hanya kemeja itu, semua produk Carlo Group selalu diklaim Arya laris manis. Entah Arya membual atau tidak, Zayra tak lagi peduli. Yang penting, uang bulanannya tetap lancar tanpa pernah berkurang sepeser pun.

"Udah siap, nih!" ujar Zayra sambil mendorong koper ke arah Arya yang masih sibuk bercermin.

"Oke. Sebentar," balas Arya. Ia mengeluarkan sebuah kertas dari dalam laci meja rias dan menyerahkannya kepada istrinya yang berdiri di belakangnya.

"Apa, nih?" tanya Zayra heran.

"Bacalah!" Arya menjawab santai sambil mengambil koper dari tangan Zayra dan mulai mendorongnya ke arah pintu.

Zayra menatap surat itu dengan alis mengernyit. Suaminya yang biasanya cuek, tiba-tiba meninggalkan sebuah surat yang isinya... aturan? Ia mulai membaca:

Untuk Istriku.

Selama aku nggak ada di rumah, istriku tidak boleh melakukan:

Makan mi instanBepergian jauh-jauhMeninggalkan agenda video call sebelum tidur

Istriku juga dilarang lupa melakukan:

Mengunci pintu dan jendela saat bepergian dan sebelum tidurMematikan keran airMengirim pesan singkat di awal pagi

Zayra membaca surat itu dengan mulut setengah terbuka. "Nggak jelas kamu, Mas!" gumamnya kesal, tapi juga bingung.

Apa sih maksudnya? Arya, suaminya yang biasanya tidak peduli, tiba-tiba berubah menjadi perhatian dengan cara yang aneh. Ia pergi mendadak dan meninggalkan surat yang isinya tak masuk akal. Ini bukan Arya yang biasa ia kenal.

Kini, Zayra berdiri sendiri di kamar, memandangi surat itu dengan tatapan bingung. Suara langkah kaki Arya terdengar menjauh, diikuti suara kursi yang ditarik di meja makan di lantai bawah. Arya sudah pergi meninggalkannya bersama surat ini—dan segunung pertanyaan yang mengganggu pikirannya

"Ra, turun dong! Mana sarapanku?!" suara Arya Pangestu menggema dari ruang makan.

Zayra yang mendengar lengkingan itu segera berlari kecil menuruni tangga. Dari kejauhan, ia melihat Arya sudah duduk tegap di kursi, matanya tajam tertuju pada dirinya yang sedang menuruni anak tangga.

"Kencang banget sih suaranya, Mas. Masih pagi, tahu! Nanti tetangga protes," keluh Zayra sambil berjalan menuju dapur.

"Lagian kamu juga sih, lama banget!" Arya membalas dengan nada tak sabar.

Zayra menghela napas pendek. "Aku bikinin nasi goreng aja, ya?"

"Plus telur mata sapi!" tambah Arya cepat, tanpa sedikit pun mengendurkan ekspresi seriusnya.

"Oke," jawab Zayra singkat sambil mulai mengambil bahan di dapur.

Arya menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, lalu dengan santai menambahkan, "Lima menit dari sekarang harus udah jadi, ya."

*____*

Nasi goreng sudah dihidangkan. Arya segera membuka matanya setelah tidur singkat di meja makan. Ia terlihat lesu, menunggu masakan matang yang menurutnya memakan waktu lama.

Ia mulai makan dengan suapan pertama yang lemas, energi setengahnya hilang karena posisi tidur yang salah.

"Mau aku suapin?" tanya Zayra, merasa iba melihat suaminya yang terlihat tak bertenaga bahkan untuk menyuap nasi.

Arya tanpa ragu meletakkan sendoknya dan menyodorkannya kepada Zayra, meskipun tahu istrinya juga sedang makan.

Zayra mendesah kecil, kemudian mengambil alih sendok itu. Ia mengipas-ngipas nasi goreng terlebih dahulu sebelum menyuapkannya ke mulut Arya, lalu melanjutkan makanannya sendiri.

"Enak nggak?" tanyanya sambil tersenyum kecil, mencoba mencairkan suasana.

Arya sebenarnya penggemar nasi goreng. Masakan Zayra tidak buruk, meski juga tidak terlalu istimewa. Tetap bisa dinikmati. Ia mengangguk pelan sebagai jawaban.

"Gimana?" tanya Arya, mengingatkan sesuatu dengan nada serius.

"Apaan?" balas Zayra, bingung.

"Udah baca suratnya, kan? Kamu harus patuhi itu kalau mau dapat oleh-oleh," jelas Arya, sambil menyuapkan nasi goreng lagi ke mulutnya.

"Ck! Kata kamu semalam kalau kita lakuin yang begituan aku bakal dapat oleh-oleh. Kenapa sekarang perjanjiannya berubah jadi kayak gini? Curang banget, sih!" Zayra menggerutu dengan nada kesal.

Arya terkekeh, merasa lucu melihat reaksi istrinya. "Lagian kamu mau oleh-oleh apa, sih?"

"Ya apa aja! Yang bagus, mahal, berkualitas! Tapi aku nggak mau oleh-oleh makanan!" jawab Zayra tegas sambil memiringkan bibirnya.

"Ya itu, makanya ikutin yang di surat. Toh, surat itu buat pengingat karena kamu itu, tahu sendiri, suka lupa," ujar Arya sambil tersenyum menggoda.

Zayra memanyunkan bibirnya mendengar petuah basi itu lagi. Ia sudah sering kali mendengarnya, tapi tetap saja, surat itu terasa lebih seperti lelucon daripada aturan serius.

*_____*

Arya dan Zayra kini berada di teras rumah, menunggu taksi yang akan mengantar Arya ke bandara.

Ketika taksi tiba, Arya segera memasukkan kopernya ke bagasi. Ia lalu melambaikan tangan kepada Zayra yang masih duduk di kursi teras, memberi isyarat untuk mendekat.

"Aku berangkat, ya. Jangan lupa isi suratnya!" katanya dengan senyum kecil.

Zayra berdiri dan menyalami tangan Arya, lalu dengan telaten merapikan baju suaminya yang sedikit kusut.

Setelah semuanya selesai, Arya masuk ke dalam taksi. Perlahan, kendaraan itu mulai melaju menjauh, meninggalkan Zayra yang tetap berdiri di teras, menatap kepergian suaminya. Namun, tak berselang lama, taksi itu berhenti hanya beberapa meter dari rumah. Arya keluar lagi, berjalan cepat ke arah Zayra.

"Kenapa balik lagi?" tanya Zayra bingung.

"Ada yang lupa," jawab Arya singkat sambil mendekat.

Tanpa banyak kata, ia mencium kening Zayra, lalu mengecup bibirnya sekilas. "Masuk ke dalam sana," titahnya lembut seusai memberikan ciuman.

Zayra terkekeh kecil. "Aku kira apa yang ketinggalan," ucapnya, lalu berbalik menuju pintu masuk rumah.

"Masuk, tutup pintunya," Arya menambahkan, memastikan istrinya tidak lagi berdiri di luar.

Zayra sudah berada di dalam rumah. Ia mengintip dari balik jendela, melambaikan tangan kepada Arya yang ternyata masih memperhatikannya. Arya membalas dengan senyum hangat sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam taksi dan melanjutkan perjalanannya.

Menutup kembali tirai jendela, Zayra menghela napas panjang. Pagi ini, ia memulai harinya tanpa kehadiran Arya dan tingkah menyebalkannya—setidaknya untuk empat hari ke depan.

Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang