Zayra sudah rapi sejak setengah jam yang lalu, bersiap pergi ke kafe miliknya. Dua hari terakhir ia tidak sempat bertandang ke sana karena kesibukannya mengurus pekerjaan rumah. Ia dan Arya memang sepakat untuk tidak menyewa asisten rumah tangga, berjanji akan berbagi tugas rumah tangga. Namun, janji itu hanya bertahan dua bulan pertama pernikahan mereka. Semakin ke sini, Arya semakin jarang menyentuh pekerjaan rumah, bahkan untuk mencuci piring bekas makannya pun tidak. Selama dua hari ini, Zayra sibuk menyelesaikan setrikaannya dan membersihkan kebun belakang yang mulai terlihat berantakan.
Pagi ini, maniknya bolak-balik mengarah ke layar TV dan sebuah lukisan abstrak di sebelahnya. Semula, ia berniat langsung ke kafe, tetapi rencananya tertunda setelah menerima telepon dari Hesti, mama mertuanya. Hesti mengabarkan akan berkunjung ke rumah.
Hesti baru saja kembali dari Jepang dua hari lalu, mengikuti festival tahunan yang diadakan oleh komunitas anyam untuk lansia, tempat ia aktif berpartisipasi. Hesti menjadi salah satu perwakilan komunitasnya untuk memperlihatkan hasil kreativitas mereka.
Zayra mengenal Hesti bahkan sebelum mengenal Arya. Pertemuan pertama mereka terjadi di kafe milik Zayra, ketika Hesti terlihat duduk seorang diri di sudut kafe, menunggu seorang teman yang ternyata membatalkan janji tanpa pemberitahuan. Merasa kasihan, Zayra memutuskan mendekati wanita paruh baya itu dan mengajaknya berbincang. Dari obrolan itu, ia tahu bahwa Hesti adalah seorang ibu yang kesepian.
Hesti memiliki dua anak: Arya, si sulung yang kini menjadi suami Zayra, dan Febi, adiknya yang masih remaja. Namun, baik Arya maupun Febi jarang sekali berada di rumah. Sesekali Febi menemaninya, tetapi remaja itu tetap sibuk dengan dunianya sendiri.
Berangkat dari simpati, Zayra mulai mencari cara agar Hesti memiliki kegiatan yang membuatnya lebih bahagia. Suatu hari, ia menemukan informasi tentang komunitas lansia di Instagram. Ia pun menghubungi penyelenggara komunitas untuk memastikan detailnya, lalu mengabarkan informasi tersebut kepada Hesti. Respons Hesti sangat antusias, dan sejak itu ia menjadi anggota aktif di komunitas tersebut.
Tak terhitung berapa kali Hesti mengunjungi kos Zayra sepulang dari kegiatan komunitas. Ia sering membawa hasil anyamannya seperti tas dan topi, bahkan sesekali membawakan makanan untuk Zayra.
Pada pertemuan pertama mereka, Hesti langsung mempersilakan Zayra memanggilnya dengan sebutan Mama. Dalam hati, Zayra bertanya-tanya, mungkinkah wanita itu merasa kasihan padanya? Saat itu, Zayra tanpa sadar terlalu jauh bercerita tentang ibunya yang telah tiada.
Hubungan mereka kian akrab, hingga suatu hari Hesti membawa putra sulungnya ke kafe milik Zayra. Pertemuan itu, ternyata, bukan kebetulan. Hesti dengan sengaja merancang pertemuan tersebut untuk mendekatkan keduanya.
Arya—dengan penampilannya yang rapi dan pesona yang alami—mudah menarik perhatian siapa saja yang melihatnya. Begitu pula Zayra, yang jatuh hati sejak pandangan pertama.
Kenangan itu tiba-tiba hadir di benak Zayra, seolah baru terjadi kemarin.
Hesti datang dengan tangan yang mengamit lengan putra sulungnya. Lelaki dengan perawakan sedang itu mengenakan kemeja biru muda dan tersenyum ramah, bukan hanya kepada pelayan kafe tetapi juga kepada Zayra yang menyambut mereka dengan hangat.
"Ra, kenalin. Ini anak Mama, si Arya. Yang udah tua masih aja jomblo," ucap Hesti sambil tertawa ringan.
Zayra tersenyum simpul. "Silakan duduk, Mama dan Mas Arya," katanya sembari menunjukkan tempat duduk untuk mereka.
Percakapan ringan pun mengalir. Namun, ada satu hal yang tak pernah Zayra lupakan. Saat itu, Hesti dengan terus terang menyebutkan harapannya agar putra sulungnya menikahi Zayra. Kata-kata itu terngiang hingga kini, membekas dalam ingatannya.
Lamunannya terputus oleh suara mobil yang berhenti di depan rumah. Itu pasti taksi yang membawa Hesti. Zayra bergegas membuka pintu, menyambut tamunya dengan hangat.
Hesti keluar dari mobil dengan senyum ramah, tampak anggun meski usianya hampir menyentuh penghujung lima puluhan. Ia berjalan perlahan, kedua tangannya penuh dengan barang bawaan. Melihat itu, Zayra segera berlari kecil menghampiri, membantu meringankan beban wanita yang selalu terlihat penuh percaya diri itu.
Sesampainya di ruang tamu, Zayra sudah menyiapkan secangkir teh chamomile kesukaan Hesti, yang ia buat beberapa menit setelah mendapat kabar akan kedatangan sang mama mertua.
Hesti menyesap teh dengan perlahan. Zayra memperhatikan dengan seksama, masih bisa melihat keanggunan Hesti yang sedang menikmati teh buatannya.
"Terima kasih ya, sayang," ujar Hesti sambil tersenyum lebar.
Senyuman itu membuat Zayra merasa hangat, meskipun sebenarnya ucapan terima kasih itu tak perlu diucapkan. Zayra sudah terbiasa melayani dengan tulus.
"Sebenarnya Mama mau kesini kemarin, tapi Mama masih capek. Lumayan lama jet lag-nya. Tadi Febi kasih kabar kalau dia disuruh nginep di sini sama Arya. Jadi, Mama langsung kesini. Berapa hari Arya pergi, Ra?" tanya Hesti.
"Padahal aku udah bilang kalau nggak perlu nyuruh Febi nginep," jawab Zayra. "Mas Arya pergi empat hari, Ma."
Hesti mulai membuka bungkusan yang ia bawa. Di dalamnya ada beberapa bahan makanan dan oleh-oleh dari Jepang. Sepertinya Hesti tahu betul kemampuan Zayra dalam urusan masak-memasak. Ia membawa bumbu jadi dan makanan beku yang siap saji.
"Selama Arya nggak ada, kamu bisa masak ini aja. Kalau bahan makanan yang Mama bawa habis, telepon Mama ya. Biar dibawakan makanan matang dari Mbok Marni di rumah. Jangan terlalu sering beli makan di luar, sayang," pesan Hesti.
"Ini juga Mama bawa baju sama boater hat. Mama beli dari teman Mama yang orang Vietnam. Baru berteman kemarin sih, dia pengrajin tekstil. Wuih, bahan-bahan bajunya kualitas top semua. Kamu harus coba, nih," lanjut Hesti sambil menunjukkan sebuah dress bermotif bunga-bunga di bagian depan. Zayra perhatikan, bagian dadanya tampak cukup rendah.
"Pakenya pas lagi di rumah aja," tambah Hesti.
Zayra berusaha mengikuti antusiasme sang mertua, lalu mengambil baju yang ditunjukkan Hesti. Merasakan kelembutannya, baju itu memang sangat nyaman.
"Kayaknya adem banget, Ma," ujar Zayra, memberikan komentar tentang baju itu.
Melihat Hesti yang bersandar di sofa, Zayra merasa sepertinya tidak akan jadi pergi ke kafe. Wanita itu jelas butuh ditemani.
Hesti menelisik penampilan Zayra yang duduk tak jauh darinya. "Kamu kelihatan kayak mau pergi, Ra?"
"Iya, sebelum Mama telepon tadi, Zayra mau berangkat ke kafe. Tapi nggak apa-apa, Ma. Ke kafenya bisa nanti-nanti," jawab Zayra, mencoba mengalihkan perhatian.
"Oh, ya sudah. Kita ke kafe aja. Mama juga kayaknya sudah lama banget nggak main ke kafe," balas Hesti, mengejutkan Zayra.
"Nggak perlu deh, Ma. Kita di sini aja. Mama kelihatan masih capek juga. Di dapur ada pisang. Zayra buatin pisang goreng, ya?"
"Boleh deh, Ra. Mama juga kayaknya sudah lama nggak makan pisang goreng."
Zayra memang selalu tahu cara menghibur dan membuat hati wanita tua yang kesepian itu merasa lebih baik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomanceMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...