Dua Puluh Lima

31.4K 1.6K 30
                                    

"Ra, harusnya tadi pagi kamu masuk aja ke ruanganku meskipun kamu tahu aku lagi sama Raline." Arya bersuara setelah beberapa menit hanya terdengar isak tangis Zayra.

Zayra mengangkat wajahnya dari yang semula berada di dekapan Arya. Menatap manik mata Arya, yang kini pandangan laki-laki itu tengah menghadap ke arahnya dengan tatapan yang terasa teduh.

"Kalau masuk, nanti aku takut mengganggu kalian."

"Enggak masuk pun kamu tetap mengganggu aku ternyata." Balas Arya membuat Zayra mengerutkan keningnya. "Jam kerjaku terganggu karena sekretarisku bilang kamu pergi dari kantorku dengan mata berair, yang berujung aku harus cari kamu ke kafe dan ke rumah Mama. Hm, waktuku terbuang begitu aja karena ternyata kamu nggak ada di dua tempat itu."

Zayra sedikit tidak nyaman mendengar pernyataan Arya. Ia berniat turun dari pangkuan laki-laki itu, namun ditahan oleh tangan kuat Arya yang melingkari tubuhnya bak sabuk pengaman.

Arya melanjutkan lagi pembicaraannya."Kenapa? Kenapa mata kamu berair tadi pagi? Kamu nguping pembicaraan aku dengan Raline?"

Enggan menjawab, Zayra justru melingkarkan kedua tangannya ke leher Arya. Menopang dagunya pada pundak Arya. Sedikit takut dengan tatapan Arya yang kini tampak berubah mengintimidasi dirinya.

Arya menarik wajah untuk bertemu tatap dengannya kembali. "Zayra jawab pertanyaanku."

"Iya."

"Iya apa?" Arya sedikit meninggikan suaranya.

"Aku dengar kamu." Sebaliknya Zayra makin melemahkan volume suaranya.

"Lalu?"

"Ih, Mas Arya! Aku nggak tahu." Zayra sungguh sulit untuk mengungkapkan perihal alasan yang membuat matanya berkaca-kaca tadi pagi. Zayra yakin, jika Arya tahu sebab matanya berair yang terjadi pada pagi hari tadi hanya karena mendengar sepenggal kalimat yang ambigu, pastilah laki-laki itu akan mencemoohnya.

"Pasti kamu nggak nguping pembicaraanku dengan Raline sampai selesai, ya?" Tebak Arya.

Zayra diam saja. Tidak sampai selesai saja hatinya sudah tidak karuan, bagaimana jika sampai selesai.

"Pembicaraan mana yang bisa buat mata kamu berair, Ra?"

Matanya berair bukan hanya karena pembicaraan mereka berdua tadi pagi, tapi fakta jika Arya sering berkirim pesan di belakangnya pun sepertinya turut andil dalam memporak-porandakan hatinya hari ini.

"Zayra aku tanya, tolong dijawab..."

Lelah mendengar pertanyaan Arya yang tiada henti, Zayra memilih jujur. "Kamu masih sering kirim pesan sama Raline,ya? Terus aku dengar kamu sering curhat berdua di apartemen Raline sebelum kita nikah."

"Begitu? Otak kamu nih kayanya emang demen banget mikir yang aneh-aneh, ya." Ujarnya seraya melayangkan sentilan ringan di dahi Zayra.

Ditepisnya tangan Arya kencang. Dengan bibir yang mengerucut Zayra mengeluarkan asumsi dari unek-uneknya. "Namanya perempuan dan laki-laki, kalau berduaan kan suka ada aja khilafnya."

"Aku di apartemen Raline cuma cerita dan numpang makan, masakan dia waktu itu enak dan sesuai seleraku sebelum aku coba masakan kamu yang jauh lebih enak." Jelas Arya dengan mengusap telapak tangan Zayra perlahan sebagai bentuk menyakinkan perempuan itu. "Kejadian dan momen itu juga udah lama berlalu, Ra."

Melepaskan tangannya dari genggaman Arya, Zayra masih mengeluarkan keresahan hatinya. "Justru, karena udah sering berduaan nggak menutup kemungkinan kalau sekarang kamu bakal lakuin kayak dulu lagi ketika berduaan sama Raline."

Arya menyingkirkan rambut-rambut yang menjuntai ke wajah Zayra. Menahannya dengan kedua tangan yang diletakkan di sisi kepala perempuan itu.

"Dengar, Raline nggak pernah aku pangku seperti ini." Arya mendekatkan tubuh keduanya, hampir menempel tidak ada jarak.

"Aku dan Raline beberapa kali berpelukan tapi Raline nggak pernah aku ajak untuk berpelukan denganku yang bertelanjang dada seperti ini." Arya memindahkan tangan Zayra untuk melingkari lehernya, hingga wajah keduanya tampak dekat.

"Satu lagi, Raline nggak pernah aku biarkan dia merasakan ciuman aku." Ujarnya dengan menempelkan bibir keduanya dengan Zayra yang masih tampak bergeming.

Zayra sungguh mudah terperdaya oleh laki-laki macam Arya. Astaga, ia bahkan sampai memegang erat tengkuk laki-laki itu takut-takut Arya memutuskan ciuman keduanya. Ciuman kali ini terasa jauh lebih lembut dari yang sebelumnya. Arya mampu membuat dirinya melambung seketika. Lidah laki-laki yang dilesakkan ke dalam mulutnya secara perlahan mampu membuat sarafnya berkedut. Ciuman ini mampu membuat tubuhnya untuk ia rapatkan lebih menempel lagi pada laki-laki itu agar bisa menjangkau lebih dalam mulut manis Arya yang memabukkan.

Melepaskan ciuman singkatnya, Arya menjauhkan wajah keduanya untuk memberikan area bernapas melihat wajah Zayra yang tampak memerah. "Kamu akan selalu menang banyak dari Raline, Ra. Meskipun kamu datang lebih akhir di hidupku."

Ya ampun. Melihat wajah Arya selepas berciuman mengapa membuat semua rasa resah dan cemburu menguar seketika.

"Ada yang masih mengganjal di kepala kamu tentang aku dan Raline?"

"Aku nggak pernah kirim pesan sama laki-laki." Sindirnya pada Arya soal perlakuannya yang sering kirim pesan pada Raline. Padahal di awal tadi ia sudah mengatakan, tapi Arya tidak membahas.

"Pesanku dengan Raline nggak ada yang penting. Bahkan beberapa kali aku suka mengabaikan pesannya."

Merasa selesai atas permasalahan yang terjadi hari ini, Arya menurunkannya dari pangkuan. Bangkit berdiri kemudian menggandengnya masuk ke dalam kamar.

"Aku mandi dulu, nanti malam dilanjut lagi kalau kamu mau melakukan yang kayak tadi." Arya menyentuh bibir bawah Zayra dengan kilat sebelum pergi menuju ke kamar mandi.

"Ih, aku nggak bilang mau!"

"Ya, istriku cuma ngomongnya doang nggak mau, nanti kalau sudah dilakukan pasti bakal mau-mau aja, kan?" Canda Arya seiring berjalannya ke kamar mandi dengan menunjukkan seringai senyumnya pada Zayra.

Zayra tidak meladeni, ia justru merebahkan diri di kasur. Mengambil handphone Arya di nakas untuk kembali ia lihat. Sayang, ia hanya bisa menyalakan handphone tersebut tanpa bisa membukanya. Melamun sebentar, sampai ia teringat pesan dari teman Arya yang lain, Alfi. Bergegas ia mengambil handphonenya yang berada di lantai bawah.

Menggunakan akun instagram yang kedua, ia mencari profil Raline untuk melihat postingan yang diunggahnya. Satu feed berisi tiga postingan foto, dua diantaranya adalah foto bersama Arya. Dengan tulisan singkat yang ditinggalkannya di feed tersebut yang membuat hatinya resah kembali.

Semoga kamu kembali...

Dibawanya handphone tersebut ke kamar. Menunggu Arya keluar kamar mandi. Merebahkan tubuhnya kembali, ia masih menatap foto yang diunggah oleh Raline. Arya tampak merangkul pundak Raline, dekat sekali. Satunya lagi, foto yang diambil ketika keduanya duduk di sebuah kursi dengan Arya yang tampak merebahkan kepala pada pundak perempuan itu lagi.

Saking fokusnya ia memperbesar dan memperkecil foto, Arya yang sudah keluar dari kamar mandi tidak menghalangi fokusnya, sampai Arya berucap di telinga perempuan itu. "Jangan dilihatin terus, Ra. Foto itu diambil udah lama banget waktu kami masih sama-sama kuliah. Dia temanku yang sering nemenin aku ngerjain tugas semasa kuliah. Kita nggak ada perasaan apapun saat itu, dan nggak akan pernah saling merasakan suka."


Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang