Tiga Puluh Sembilan

34.8K 1.6K 12
                                    

"Ciuman perpisahan, Ar. Kan, aku mau pergi." Ucap Raline enteng.

"Aku bilang silakan pergi! Tanpa perlu melakukan adegan yang nggak senonoh seperti tadi, RALINE!"

Arya langsung mengabaikan Raline yang sepertinya hendak bicara lagi, ia berjalan cepat. Mencari sosok yang tadi memanggilnya. Zayra mengenakan terusan biru muda dengan rambut panjangnya yang digerai. Ia sempat melihat sekilas sebelum perempuan itu pergi.

Tentu. Zayra tentu melihat adegan kurang ajar yang Raline lakukan tadi. Ia harus cepat-cepat meluruskan sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkannya.

*____*

Zayra sedang menyantap hidangan bubur yang dibawa oleh Arya saat mama menelponnya. Dalam teleponnya mama mengatakan bahwa Febi baru saja mengalami kecelakaan tunggal selepas pulang dari rumah temannya. Feby meminta mengabari Arya, namun handphone laki-laki itu tidak mengangkat meski mama sudah berkali-kali memanggilnya.

Akhirnya Zayra menghabiskan santapan buburnya dengan cepat. Kemudian mandi dan berganti pakaian.

Begitu sampai di lantai dasar, ia dikejutkan dengan Kalila yang sedang mengepel lantai villa. Ternyata salah satu pegawai Arya ada yang menumpahkan minuman bersoda sebanyak satu botol ukuran satu liter. Kalila, yang tampak terlihat lugu diluar jadi sasaran pegawai tersebut untuk dilimpahkan tanggung jawab yang bukan miliknya. Tidak bosnya, tidak pegawainya, sama saja. Sama-sama menyebalkan.

Ia tidak bisa membiarkan Kalila bekerja sendirian. Butuh setengah jam untuk keduanya bisa membersihkan lantai yang penuh soda tersebut.

Melihat wajah Kalila yang tidak pernah terlihat lelah, ia berpikir apakah ia meminta tolong saja pada Kalila untuk menyampaikan pesan sang mama pada Arya. Ia enggan berbicara lagi dengan laki-laki itu setelah pembicaraan hampa yang dilakukan keduanya tadi pagi.

Tapi ia urungkan niatnya menyuruh Kalila. Sepertinya berada di keramaian pengunjung bisa mengisi energinya kembali yang sempat dilanda kebosanan setelah beberapa jam ia mendekam di kamar.

Menunggu pesanan taksinya datang, tiba-tiba perutnya terasa lapar lagi. Ada penjual siomay keliling yang lewat, ia tak tahan untuk menghentikannya. Berujung ia makan siomaynya dengan waktu yang agak lama dan supir taksi tidak membolehkan ia makan di dalam mobil, maka ia makan di teras villa ditemani supir taksi tersebut sambil berbincang-bincang.

Ada-ada saja kejadian hari ini.

Sesampainya di acara launching, ia tidak langsung bertemu dengan Arya. Melipir sebentar pada stand milik kafenya. Ada seorang pengunjung wisatawan yang mendatangi standnya.

"Saya mau bicara dengan pemilik stand ini, apakah bisa?" Dengan aksen bahasa Indonesia yang sedikit aneh wisatawan itu berkata.

"Saya sendiri, Pak, pemilik stand ini." Akunya pada wisawatan tersebut.

"Kopi ini paling enak setelah saya coba lima kopi disini. Saya boleh tahu resep kopi ini?"

Amazing! Mencoba lima kopi dalam satu waktu. Wisatawan itu menunjuk kopi yang ada dalam genggamannya. Kopi tersebut adalah kopi pandan. Salah satu kopi yang paling dinikmati oleh orangtua.

"Boleh, pegawai saya yang bantu jelaskan ya, Pak." Ia melirik pada salah satu pegawai yang sedari tadi memperhatikan percakapan dirinya dengan wisatawan tersebut.

Kemudian ia melanjutkan tujuannya kembali datang kesini. Melangkahkan kaki mencari seseorang yang ia cari. Mungkin lima belas menit ia berputar-putar di lokasi. Sampai ia menemukan sosok sang suami tengah berdua dengan seseorang yang menjadi topik hangat dalam rumah tangganya akhir-akhir ini.

"Mas!"

Ia berjalan mendekati kedua orang tersebut. Namun langkahnya seketika terhenti kala ia melihat perempuan di hadapan suaminya itu mendekati wajah serta tubuhnya pada Arya.

Satu detik

Oh, sepertinya kurang dari satu detik kejadian menjijikan itu terjadi. Tapi tetap saja, hatinya remuk redam.

Keduanya menempelkan bibir.

Ia memundurkan langkahnya kembali. Urung menghampiri laki-laki tersebut.

Biar sajalah mama memarahinya karena tidak menyampaikan pesan pada Arya untuk mengabari soal Febi. Ia benar-benar ingin pergi. Pulang ke rumah Pak Raden yang mana laki-laki itu tidak tahu alamatnya. Hanya tempat itu yang Arya tidak tahu. Semoga Pak Raden dan Bu Ning bersedia menyediakan tumpangan untuknya.

Dirinya berjalan cepat, menabrak beberapa pengunjung, matanya sudah tak kuat membendung air mata yang ingin meluruh. Saking tidak kuatnya membuat pandangannya kian mengabur, sampai tubuhnya ambruk ke aspal menyatu dengan debu-debu jalanan, entah ia tersandung apa, dirinya sama sekali tidak memperhatikan jalanan. Luka yang kemarin ia dapati bahkan belum kering, sekarang ia dapati lagi luka itu.

Tangisnya meluruh saat merasakan sakit luar biasa pada tubuhnya. Ya Tuhan. Mengapa efek sakit hati yang mendalam bisa merambat ke seluruh tubuh seperti ini.

Bahkan belum satu bulan usai kejadian saat dirinya dicium oleh laki-laki itu di depan fotografer. Terasa cukup menyesakkan saat melihat Arya bersama perempuan itu.

"Ra, lihat aku atau hasil fotonya bakal jelek."

"Terlalu sebentar ya, aku ciumnya? Padahal kamu nggak tahan pengen lama-lama nempelin bibir kamu ke aku, kan?"

"Your lips so sweet, Ra."

Agaknya memang ia yang terlalu banyak berharap dalam pernikahan ini. Pontang-panting dirinya mempertahankan pernikahan dengan mempercayai laki-laki itu selalu.

Sekarang, apa lagi yang harus dituju selain kebahagiaan?

Karena nyatanya kebahagiaan itu hanya semu semata.

*____*

Arya berlari melewati kerumunan. Bersenggolan dengan beberapa pengunjung, yang langsung memberikan tatapan sinis padanya. Tidak apa. Tidak apa acara ini gagal total atau merugi sekalipun. Ia sudah tidak peduli

Satu yang terpenting saat ini adalah istrinya. Ia bahkan belum kembali menyatakan rasa cinta yang tulus di depan perempuan itu. Tapi ia lagi-lagi menjadi penoreh luka bagi Zayra.

Kepalanya sudah penuh asap yang mengebul karena ulah Raline, ditambah dering handphone dari sang mama yang tak henti-henti. Ia mengangkat sembari berjalan mencari Zayra.

"Ar, adikmu kecelakaan ini, lho. Manja banget minta teleponan sama kamu."

Kepalanya semakin mengebul usai mendengar pernyataan sang mama. Ditambah, matanya melihat sosok perempuan teronggok dalam kerumunan, perempuan berbaju biru muda itu yang tadi memanggilnya.

Untuk saat ini, Febi tidak ia hiraukan. Hidup dan matinya ada pada perempuan yang kini ia lihat tidak sadarkan diri.

"Ra?"

"Sayang?"

Tangannya bergetar memegang handphone untuk memesan taksi. Kemudian mendekap erat tubuh yang sudah terbalut dengan debu itu untuk ia angkat ke dalam taksi.

Doanya tak henti digumamkan dalam hati. Tangannya tak henti mengusap punggung tangan yang penuh goresan luka aspal. Bibirnya bahkan sudah tak terhitung mencium kening pujaan hati yang penuh dengan peluh keringat.

"Tolong jalan agak cepat ya, Pak."

Jantungnya berdetak cepat bak laju mobil yang ia tumpangi saat ini.

Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang