Arya melirik jam di ruangannya. Sudah sore dan langit hampir menggelap. Ia membereskan berkas-berkas dan mematikan layar komputer. Menarik jas yang dilampirkan di kursi, kemudian memakainya.
Begitu keluar dari kantor dan gabung dengan pengendara di jalan ia terjebak macet. Tidak tahu apa penyebabnya. Tanpa niat, ia memilih membelokkan stir ke arah lain yang bukan jalan menuju penginapannya.
Udara dingin sepertinya mengantarkan dirinya pada kedai kopi langganannya. Livy's Coffee.
Harum aroma kopi menyambutnya. Senyumnya kian menghangat ketika melihat seorang wanita berambut bondol tengah melayani pembeli. Ia mengantri di belakang dua orang laki-laki dewasa yang memakai jaket tebal.
Sampailah ia di depan barisan. Perempuan itu membalikkan badannya seraya membuka mulutnya lebar-lebar.
"Arya?! Kau Arya? Kau benar Arya?!" Wanita itu berbicara cukup keras, membuat pengunjung lain memandang ke arah keduanya. Ia segera menyalami tangan yang harum aroma kopi itu.
"Duduk, silakan kau duduk! Aku akan antarkan lima menit kemudian."
Arya kemudian berbalik badan mencari tempat duduk kosong. Ia memilih tempat yang dekat dengan lukisan danau Toba.
Ibu Livy atau yang masyarakat Paris kenal dengan Madame Livy adalah seorang wanita asal suku Batak yang merantau ke Paris karena menikah dengan laki-laki berkebangsaan Perancis. Tiga tahun menikah, mereka mendirikan kedai yang awalnya berisikan makanan Indonesia yang diperuntukkan warga negara Indonesia yang tengah merantau juga ke negeri ini.
Tak disangka. Dua tahun kedai makan itu berjalan, Tuhan berkehendak lain dengan mengambil suami Ibu Livy ke sisi-Nya. Keadaan yang mengejutkan itu membuat dirinya tidak fokus dan memutuskan untuk menghentikan usahanya.
Ruko yang dibeli untuk menjadi kedai makan itu seketika kosong dan terbengkalai. Selama satu tahun kepergian sang suami, ia menjalani hari-hari di rumah dan jarang sekali untuk bersosialisasi. Sampai kemudian ia sangat merindukan interaksi antar pengunjung yang membeli jualannya. Maka ia mengumpulkan tekad kembali untuk membuka usaha. Ia memilih kedai kopi sebagai usaha keduanya. Karena ia pikir membuat kopi tidak begitu sulit dan membuang waktu daripada makanan.
Arya menjadi salah satu orang yang pernah mengantarkannya makanan saat Ibu Livy berada di kondisi terpuruknya. Makanan yang dibuat oleh Raline, yang saat itu tengah menjadi sahabatnya. Setiap dua Minggu sekali ia bersama Raline mengunjungi Ibu Livy untuk sekedar melihat kondisi wanita itu.
Keakraban ketiganya terjalin sempurna, sampai terkadang ia atau Raline menjadi pegawai kedai dadakan jika jumlah pengunjung sangat banyak.
"Bagaimana kabar kau, Arya?" Wanita itu datang dengan dua gelas cangkir di tangannya.
Arya dengan sigap mengambil cangkir-cangkir itu untuk segera ditaruhnya di atas meja.
"Seperti yang Ibu lihat, aku baik. Sangat baik."
Livy tertawa. "Pengantin baru tentu akan selalu menjawab seperti itu."
Tawa Livy menyambar pada Arya.
Madame Livy selalu meledeknya dengan kalimat pengantin baru. Padahal ia dan Zayra sudah menginjak bulan delapan pernikahan.
"Tadi siang Raline cerita kalau kamu sedang ada disini. Kau datang ke acara pembukaan tokonya? Aku dengar katanya ramai sekali pengunjung yang datang."
"Iya, aku datang dengan rekan-rekan kerjaku, Bu."
"Kau masih berhubungan baik ternyata dengannya. Dia masih sering berkunjung kesini, membantuku. Kau tahu, beberapa pelanggan setiaku banyak yang meminta nomor teleponnya, tapi dia sama sekali tidak menggubris satu orang pun. Hm. Cinta pertama memang sulit dilupakan."
Arya tampak diam menyimak obrolan sepihak itu.
"Aku benar-benar tidak menyangka kalau kau dan Raline bukan sepasang jodoh yang Tuhan atur."
"Kau tidak ajak istrimu kesini?"
Arya menggeleng. "Aku disini cuma empat hari, besok sudah pulang."
"Kalau kesini lagi, ajak istrimu. Aku ingin bicara banyak dengannya. Siapa tahu kami bisa bertukar resep, kan?"
Livy tertawa sejenak. "Lebih enak mana buatanku atau istrimu?"
"Buatan Zayra jauh lebih enak." Balas Arya membercandainya.
Tapi memang jelas lebih enak buatan istrinya, karena Zayra selalu membuat dengan resep rahasia yang ia ajarkan.
Sebetulnya resep kopi kesukaannya itu adalah hasil dari ia belajar meracik di kedai ini. Ia terus meracik hingga menemukan resep yang pas dan sesuai seleranya. Fine, Zayra dan Pak Kardi adalah orang yang memegang resep rahasianya. Bahkan pemilik kedai kopi yang memfasilitasi racikannya tidak ia beritahu.
"Dulu ada yang pernah bilang 'kopi buatan madame Livy adalah yang terenak sepanjang masa'."
Arya terkekeh ringan. Kemudian melihat sekilas pada arloji di pergelangan tangannya.
"Kenapa? Sudah mau pulang?"
Arya menganggukk.
"Tunggu dulu, aku ke dapur sebentar."
Livy meninggalkan Arya dengan jalan yang sedikit tergopoh-gopoh. Kemudian tak lama kembali lagi, dengan tangan kanannya yang memegang Tote bag bewarna merah.
"Berikan ini ke istrimu, Arya." Ucapnya seraya memindahkan Tote bag tersebut ke tangan Arya.
Livy mendudukkan dirinya kembali di hadapan Arya. "Kau tahu Arya? Perasaan senang itu tidak seterusnya ada. Dia bisa hilang berganti dengan perasaan yang lain. Pun begitu dengan perasaan lainnya. Terkadang peralihan perasaan yang cukup cepat membuat kita tidak melakukan persiapan apa-apa. Seketika yang terjadi adalah kehampaan atau kekosongan ketika sudah berada di perasaan yang lain."
"Satu yang pasti, perasaan yang berubah terkadang sulit di prediksi itu hanya bisa di stabilkan oleh diri kita sendiri. Organ tubuh kita sendiri yang bisa membantu stabilkan perasaan itu."
"Ketika tiba-tiba sedih datang, otak berupaya memutar memori kebahagiaan. Mata kemudian melihat ke sekitar dengan jernih, burung yang berterbangan mencari makan atau induk ayam yang menjaga anak-anaknya. Sesuatu itu terkadang terlupakan apabila rasa senang datang. Kita terkadang lupa untuk memperhatikan hal yang membangkitkan keterpurukan saat dalam perasaan sedih."
"Jika itu terjadi, ingat selalu istrimu dan keluargamu. Kau bisa memandangi istrimu yang sedang memasak atau ketika dia sedang sibuk membersihkan rumahmu. Tidak perlu mengobrol, hanya melihat saja hal itu bisa menghilangkan rasa hampa. Atau kau bisa ke rumah orang tuamu, lihat bagaimana cara ia bangun dari duduknya, cara ia berjalan, atau ketika ia tengah tertidur. Sesuatu kehangatan itu akan hadir bahkan disaat perasaan sedih yang mendalam tengah mengguncang."
Arya masih setia memasang telinga ketika mulut wanita itu tertutup.
"Terima kasih Bu, untuk semua pesannya. Ini akan aku berikan besok ke Zayra. Maaf ya Bu, Arya sudah merepotkan hari ini."
"Iya. Kau pulanglah cepat. Jalanan ini akan sepi jika malam hari tiba. Khawatir ada tindak kejahatan di jalan."
Arya pamit dan kembali mengendarai mobil menuju penginapannya.
Jalanan sudah lengang. Beberapa kedai di pinggir jalan sudah tutup. Ia penasaran dengan isi bingkisan yang diberikan oleh Livy. Sebelah tangannya ia gunakan menyetir, lalu sebelahnya lagi ia gunakan untuk membuka Tote bag merah di sisi kursinya. Sebuah wadah berisi serbuk kopi, satu buah mug bewarna cokelat, dan sebuah kotak hitam yang ia buka berisi miniatur Menara Eiffel dan sebuah surat bertuliskan.
Serbuk kopi spesial ini kuberikan cuma-cuma untukmu. Bisakah kau berikan secara cuma-cuma resep rahasia kafemu yang berhasil membangun banyak cabang?
Arya tersenyum lebar. Bagaimana jika benar kedua perempuan itu akan bertemu dan berbincang soal kopi. Arya tidak bisa membayangkannya. Karena keduanya sangat antusias jika sesuatu yang dibicarakan itu bertemakan kopi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomanceMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...