Delapan Belas

30.1K 1.8K 7
                                    

"Aku udah di kantormu, Ar. Bisa kita ketemu sebentar?"

"Enggak lama kok, Ar."

"Aku mohon Ar, sebentar aja."

Itu adalah dirinya yang sudah hadir di kantor Arya seorang diri. Meminta pertemuan singkat yang tidak disetujui oleh pimpinan perusahaan tempat kakinya berpijak saat ini.

"Bagaimana Bu Raline? Bapak tidak bisa, kan?" Penerima tamu kantor yang Raline kenal terlihat angkuh. Padahal jelas-jelas perempuan yang dihadapannya kini, dulu seringkali tebar senyum dan sapa jika ia berkunjung ke kantor Arya.

Semuanya berubah!

Ia berbalik badan guna mencari pintu keluar. Napasnya memburu bak harimau yang kehilangan mangsa. Menahan kesal.

Ia sudah jauh-jauh dari Jakarta ke Malang untuk bertemu laki-laki itu. Tapi mengapa dirinya tidak menyempatkan sedikit waktu luang untuknya. Sedikit saja, bahkan sepertinya pertemuan lima belas menit cukup membayar lelahnya perjalanan yang telah dilaluinya.

Tapi Raline tidak kehabisan akal. Ia telah mengantongi alamat rumah Arya di kota ini. Satpam perusahaan yang disogoknya dengan beberapa lembar rupiah dan makanan gratis memberikan alamat sang bos untuknya. Tidak apalah menyuap sedikit pada rakyat kecil. Begitu asumsi di otaknya.

Ia telah menyewa mobil saat menginjakkan kaki disini. Maka disinilah ia berada, di perjalanan menuju rumah Arya Pangestu, mantan calon suaminya.

Sejujurnya ia tidak begitu mengerti dengan kelakuan dirinya yang gila meninggalkan pekerjaan di tokonya hanya untuk menemui Arya. Lagipula ia sudah tahu betul alasan mengapa laki-laki itu membatalkan rencana pernikahan mereka. Tapi ada satu yang masih mengganjal di hatinya terkait laki-laki itu. Raline sungguh mati penasaran, jika tidak menemukan jawabannya.

Bagaimana bisa Arya Pangestu sukarela menikahi gadis lain yang mana perempuan itu baru dikenalnya setelah dua minggu memutuskan rencana pernikahannya. How can?

Maksud Raline disini, benarkah laki-laki itu menyukai istrinya atau hanya sekedar menikahi perempuan itu saja?

Yah, intinya Raline ingin segera dapat jawaban itu. Entah jawaban dari mulut Arya melalui pengakuan langsung atau darimana pun sumber jawaban itu ia akan terima.

Kembali pada tentang dirinya. Ia tahu alasan Arya, sahabat yang dicintainya meninggalkan dirinya. Semua karena kelakuan ayahnya yang sinting. Entah sudah berapa kali ia tidak habis pikir mengapa bisa ia terlahir dari laki-laki bejat itu.

Jika ia tahu dari awal soal kelakuan bejat ayahnya, ia akan sukarela mundur atau mencoba menjadi sebaik mungkin demi mempertahankan hubungan pertemanan mereka.

Sepertinya ia sudah sampai di rumah yang ditujunya. Komplek perumahan ini terlihat asri. Termasuk rumah yang kini ia kunjungi. Laki-laki itu sudah memiliki rumah impiannya.

"Aku suka rumah yang tidak berpagar, terlihat sederhana dan menyejukkan."

Itu perkataan saat laki-laki itu tengah mencarikan ruko untuk dijadikan toko perhiasannya. Ia iseng bertanya soal rumah, karena dirinya kagum sekali pada Arya yang amat mengerti tentang sistem jual beli dan keadaan bangunan.

Diparkirkannya mobil sewaan di halaman rumah. Ia turun dari mobil berjalan ke arah kursi yang diletakkan di dekat bunga-bunga. Benar-benar terasa menyejukkan duduk disini.

Menunggu si empunya rumah datang, ia lagi-lagi mengingat kenangan manis bersama laki-laki itu.

"Ini udah lumayan enak. Kalau kamu bisa improve akan lebih baik lagi, Line. Mau ke rumah Madame sekarang? Mumpung masakan kamu masih hangat. Ayo aku antar."

"Tampilan kamu kelihatan lebih oke, tapi akan lebih baik kalau kamu nggak melakukan diet keras. Diluar sana banyak yang sudah diet nggak sesuai aturan dan berujung menimbulkan penyakit. Tetap Line, apapun itu kesehatan yang diutamakan."

"Hidup ini sudah Tuhan takar agar seimbang. Bagaimana kitanya aja yang harus usaha mengontrol untuk bisa dalam keadaan seimbang itu. Laki-laki maupun perempuan bisa untuk lakukan itu, Line."

Lirih suara Arya terdengar di benaknya. Banyak sekali perkataan berharga yang kini jadi bekal untuknya. Lamunannya terhenti tatkala mendengar suara mobil berhenti. Ia melirik jam tangannya. Itu pasti bukan Arya yang datang.

*____*

Kini ia sudah berpindah duduk ke dalam rumah. Homey dan Comfy. Kenapa sih, laki-laki itu selalu bisa mendapatkan apa yang dimau dengan sempurna. Sejujurnya ia haus, tapi istri Arya tidak menjamunya sama sekali. Tidak apalah, sebentar lagi yang punya rumah benar-benar datang.

Aroma ruangan yang menenangkan membuat dirinya kerasan di rumah ini. Lagi-lagi Arya jago sekali memilih pengharum ruangan. Eh, Arya atau istrinya yang memilih, ya?

Matanya tidak ia tujukan pada sebuah bingkai-bingkai foto di atas buffet. Ada sekitar empat bingkai foto diletakkan disana. Sejujurnya ia ingin mengamati dengan dalam ekspresi laki-laki itu di dalam foto.

Akhirnya ia memutuskan untuk melihat dengan jelas keempat foto yang terpampang disana.

What a pretty photos!

Dua foto pernikahan, satu foto bergaya bebas, dan satu foto yang hanya berisikan Zayra.

Di dalam foto pernikahan Arya tampak menggenggam jari jemari Zayra sambil keduanya tertawa. Satunya lagi, foto pernikahan yang menunjukkan cincin pernikahan keduanya. Foto yang bergaya bebas, sepertinya itu adalah foto liburan keduanya atau foto mereka yang sedang honeymoon?

Tidak jauh dari letak foto-foto itu berada, terdapat satu buah lukisan yang sekilas sedikit aneh dilihat. Nampak bunga namun jika diperhatikan tidak terlihat bunga. Nampak hewan bersayap juga, tapi jika lebih diperhatikan lagi itu bukan hewan bersayap. Entahlah, mungkin itu salah satu barang yang pemilik rumah ini beli secara cuma-cuma.

Suara salam tiba-tiba menyadarkannya.

"Raline?"

Namanya dipanggil ia lekas berdiri dari duduknya. "Aku tadi udah kasih kabar ke kamu kalau aku akan datang ke Malang."

"Sorry Raline, aku nggak sempat baca pesanmu."

"Gimana? Kabar kamu baik kah, setelah pertemuan kita beberapa hari yang lalu di tokoku?"

Arya tersenyum hangat. "Kabarku akan selalu baik, Line."

"Sounds good. Tapi aku nggak, Ar."

"Bukan enggak, kamu hanya belum mengusahakan. Ayo masuk ke dalam." Arya mengajaknya memasuki ruangan rumah yang lebih dalam lagi.

Ada Zayra yang sedang berdiri menuang minum untuk disodorkannya pada Arya sesudah perempuan itu menyalami tangannya.

Satu perubahan yang ia baru tahu dan mengejutkannya. Arya-nya, sudah bisa memakan keju. Jelas-jelas ia tahu pasti bahwa laki-laki itu tidak bisa memakan keju, tubuhnya akan ruam-ruam merah dan gatal. Tapi tadi apa katanya?

"Aku bisa makan semua makanan yang Zayra buat."

Pengakuan yang terdengar menjijikan di telinganya.

Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang