Dua Puluh Sembilan

29.1K 1.7K 5
                                    

"So, we'll have dinner after photoshoot, right?" Arya bertanya sekali lagi setelah laki-laki itu memberi penawaran akan makan malam dimana.

Zayra tentu saja berseru ingin makan malam diluar. Ia menganggukkan kepalanya kencang. Dengan kaki yang berayun-ayun di bawah kursi.

"Makan apa ya, enaknya?" Tanya Arya lagi.

"Seafood? Boleh nggak?"

"Malam-malam makan seafood?"

Dengan tatap memohon Zayra mengangguk. "Kali ini aja."

"Oke, kali ini aja. Sekalian untuk perayaan sebelas bulan pernikahan."

Eh?

Zayra tidak ingat sama sekali, lho?

Bagaimana bisa Arya justru yang mengingatnya.

Pintu ruangan dibuka, Arya tampak menolehkan kepalanya pada Zayra yang masih duduk dengan ekspresi terkejutnya. Tangan Arya dijulurkan bak prajurit yang mempersilakan sang ratu untuk berjalan melewati pintu. Zayra langsung berlari kecil, menggenggam erat tangan Arya yang menjulur tadi.

"Kok kita bisa, sih, warna bajunya samaan, Mas?" Tanya Zayra di dalam lift.

Zayra baru memperhatikan Arya yang memakai kemeja navy dan celana hitam. Sama seperti dirinya yang memakai midi dress navy dengan aksen bunga-bunga mini yang menghiasinya. Zayra sih sudah persiapan dari rumah membawa baju yang dipakainya kini. Tapi laki-laki itu sepertinya tidak punya kemeja yang ia pakai kini. Pastilah, ia mengambil cuma-cuma kemeja itu dari ruang produksi.

"Bisalah! Kamu lupa? Sekarang kamu lagi ada dimana?"

"Berarti kamu sengaja ya, Mas, cari kemeja yang warnanya sama kayak baju yang aku pakai?"

Arya tidak menanggapi.

"Berarti sebenarnya kamu juga mau ya, Mas, makan malam diluar sebelum aku kasih jawaban tadi?"

Arya masih tidak menanggapi.

"Berarti kamu benar nih, sengaja couple-an baju untuk dinner kita?"

Lagi-lagi Arya tidak menanggapi.

Zayra menggoyang-goyangkan lengan Arya dengan senyum lebar seolah mengejek laki-laki itu yang ia duga agaknya sedikit malu untuk berkata iya atas pertanyaan-pertanyaan yang ia layangkan tadi.

*___*

"Kok macet, ya? Padahal biasanya jalanan ini jarang macet lho, Mas."

Arya diam memperhatikan keadaan jalan sekitar.

"Aduh, kalau begini kita bisa kemaleman dinnernya, Mas."

"Tenang aja, Ra."

Zayra tampak gelisah di tempatnya. Berkali-kali melihat jam pada layar ponselnya. Ini sudah hampir pukul sembilan malam. Mereka sudah hampir satu jam terjebak macet disini.

"Mau turun?" Arya tampak memberi usul.

"Ngapain? Terus nanti mobilnya gimana?"

"Kalau mau, aku parkirkan disini." Jawab Arya seolah ia sudah tahu dengan kondisi tempat ini.

"Iya, mau."

Zayra sudah penat sekali berada di mobil yang tidak melaju. Kakinya ia langkahkan pada jalanan beraspal penuh debu. Arya berada di depannya, kepalanya aktif menengok kanan kiri entah mencari apa. Tapi, yang dibelakang tidak serta ditengoknya.

Harum udara Malang di malam hari terasa segar. Ia jarang berjalan-jalan seperti ini di pinggir jalan.

"Ada tukang kwetiau disana, mau coba?" Arya memundurkan langkahnya, meraih tangan Zayra untuk digandengnya sembari memberi tawaran.

Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang