Lagi-lagi Arya merasa sedikit terganggu dengan kehadiran Raline yang tiba-tiba hadir di kantornya untuk yang kedua kali. Demi menghargai kedatangan perempuan itu, ia mengizinkan Raline untuk masuk ke dalam ruangannya.
"Kantor kamu makin cantik, ada aquariumnya." Komentar Raline begitu menginjakkan kaki ke dalam ruangannya.
"Iya. Zayra yang minta untuk ditaruh aquarium supaya ruangannya nggak membosankan katanya." Bohongnya pada perempuan yang kini memakai dress merah muda selutut.
"Lagi-lagi anything about her. Bisa nggak sih, nggak perlu bawa dia ke pembicaraan kita berdua?"
Arya menggeleng. "Nggak bisa."
Tanpa dipersilakan, Raline mendudukkan diri di sofa bahkan sebelum si empunya ruangan duduk di singgasananya. "Kamu nih kenapa ya, aku rasa semenjak kamu memutuskan rencana pernikahan secara sepihak kamu jadi berubah."
"Aku nggak berubah, Line. Aku cuma melakukan apa yang seharusnya aku lakukan." Ujarnya dengan menyilangkan satu kaki dan melipat tangan di depan dada.
Mendengar jawaban Arya, Raline mencondongkan tubuhnya karena merasa perbincangan keduanya menjadi serius, bagi Raline. "Dengan mencoba seolah menjadikan aku musuh, kamu pikir itu bukan berubah namanya?"
"Musuh? Siapa yang jadikan kamu musuh? Aku nggak ada niatan untuk memusuhi kamu. Aku masih anggap kamu teman, Line. Kenapa kamu berasumsi kayak begitu?"
"Jelas aku berasumsi kayak begitu. Kamu abaikan aku setelah pembatalan rencana pernikahan, lalu sifat kamu berubah, nggak ramah kalau aku ajak bicara, kamu jadi sulit diajak bertemu, bahkan kamu lupa janji kamu yang bilang akan jadi orang pertama yang datang di peresmian tokoku." Menghela napasnya sejenak, "kamu memang datang, tapi kamu datang dengan keterpaksaan dan itupun datang setelah peresmian berlangsung. Semua perlakuan kamu yang seperti itu seperti bukan perlakuan seorang Arya yang aku kenal."
Bagi Arya asumsi Raline perlu diluruskan. "Kamu jelas tahu statusku sekarang apa, Line. Aku bukan seorang yang nggak memiliki hubungan apapun dengan perempuan. Hidupku sudah terikat, dalam janji suci yang aku ucapkan tepat sembilan bulan yang lalu."
Masih dengan pembelaannya pada diri sendiri, Raline terus mengeluarkan asumsi yang selama ini memendam di benaknya. "Terus kamu pikir dengan kamu melakukan itu ke aku kamu merasa baik? Aku bahkan udah jadi orang yang paling mengerti kamu lho, Ar, sebelum kamu terikat dengan perempuan itu."
"Merasa baik tentu nggak, tapi karena aku perlu melakukan ini jadi aku rasa itu bisa dibilang baik. Zayra, dengan sukacita menerima lamaranku. Bersiap mematuhi aku dan turut serta tinggal bersama dirumah impianku. Menjanjikan hal yang berharga dengan setia mendampingi aku di segala kondisi. Apa aku pantas, Line, mengkhianati Zayra dengan memperlakukan kamu seperti yang kamu inginkan?"
"...aku sudah menawarkan kamu untuk bisa berada di posisi Zayra, apa kamu ingat jawaban-jawabanmu itu?"
Arya menukikan alisnya. "Hm? Kamu yang mengatakan sendiri kalau kamu nggak mau tinggal di Malang, kamu nggak ingin tinggal di rumah impianku seperti yang aku mau. Kamu jawab pertanyaan aku tentang kesetiaan dengan candaan. Disamping kelakuan bejat ayahmu itu mungkin akan aku pertimbangkan kalau kamu bersifat dan berperilaku seperti Zayra...dan, aku rasa kamu juga nggak akan mau memberikan ini..."
Arya mengeluarkan handphone miliknya dari saku celana. Mencari nomor sang istri. Memperlihatkan pada Raline bahwa dirinya tengah menelepon Zayra. Untungnya ia sudah mengganti nama kontak Zayra beberapa hari yang lalu saat insiden kehadiran tamu yang tak diundang tengah malam. Alasannya mengganti kontak karena ia merasa sangat suka sekali dengan sikap Zayra yang tenang meskipun sedikit takut menghadapi wanita tua yang stres saat itu.
My Lovely wife is ringing...
"Iya, Mas?"
"Kamu lagi di kafe, kah?"
"Iya."
"Nanti siang aku jemput, kita makan siang bareng."
"Kamu kan, udah aku buatkan bekal? Aku juga udah bawa bekal."
"Iya, tapi nanti kita makannya bareng."
"Aku ngikut deh, terserah."
"Oke."
Arya langsung mematikan teleponnya. Mengembalikan lagi handphone ke saku celananya.
Masih menatap pada Raline, ia berujar dengan tenang. "Zayra dengan tiga cabang kafe yang digenggamnya, tetap masih mau kan, menerima ajakan makan siang suaminya?"
Tidak tahan melihat Raline yang seratus persen merubah mimik wajahnya dari saat pertama kali masuk ke ruangan ini, Arya menghampirinya. "Raline Manisha, bahkan kamu saat itu, satu toko masih belum tegak berdiri, kamu sudah sulit untuk diajak berkomitmen bahkan sekedar makan siang bersamaku aja kamu sering menolak."
Tangan Raline tidak segan-segan menampar wajah Arya yang masih berlagak menyombongkan betapa istimewanya memiliki istri seperti Zayra.
Satu tamparan sudah dilakukannya, Raline langsung kembali pada pintu untuk meninggalkan Arya.
*___*
Arya dan Zayra sudah siap mengarungi mimpi. Tapi, Arya tiba-tiba meminta satu hal yang aneh untuk malam ini.
"Ra? Belum tidur kan?"
"Udah." Pura-pura Zayra memejamkan matanya erat-erat.
"Jangan dulu dong, Ra. Aku lapar."
"Ya terus?"
"Masakin aku, please..."
Oh, ya ampun kenapa sih Arya tidak berhenti berbuat yang menyebalkan?
"Tahan aja, besok pagi baru aku masakin."
Tangan Zayra ditarik paksa untuk bangkit dari posisi tidurnya. Akhirnya ia memutuskan untuk ikut Arya pergi ke dapur.
"Telur dadar aja, ya."
Arya mengangguk, duduk diam di kursi makan.
Tadi sore Arya pulang dari kantor dengan membawa banyak jinjingan makanan. Akhirnya keduanya makan makanan yang dibawa Arya sebelum malam tiba. Makanan itu adalah oleh-oleh dari salah satu pegawai Arya yang baru pulang dari kampungnya di Padang.
Karena mereka makan sore, mungkin itulah yang menyebabkan perut Arya keroncongan lagi di jam sepuluh malam ini. Apalagi laki-laki itu telah melakukan lemburan di ruang pribadinya usai magrib. Zayra memakluminya. Hanya saja ia sedikit kesal karena memintanya saat sudah siap tidur seperti tadi.
Telur dadar dengan banyak daun bawang sudah matang. Ia menaruhnya di atas nasi yang sudah laki-laki itu takar di piringnya.
"Ada saus nggak, Ra?"
Lekas Zayra mengambil saus dan menuangkannya. Setelahnya ia hanya sibuk mengamati Arya yang lahap memakan masakannya.
Sementara itu, di benak Arya tidak sepenuhnya berisi soal betapa nikmatnya masakan Zayra yang dibuat dengan matanya yang mengantuk. Tapi berisikan betapa tulusnya Zayra yang rela menahan kantuk demi menuruti keinginannya.
Raline, apakah bisa perempuan itu berbuat seperti Zayra jika ia memilihnya saat itu?

KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomanceMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...