Dua Puluh Empat

32.1K 1.9K 5
                                    

Zayra melajukan mobilnya ke sebuah tempat yang sudah lama sekali tidak ia datangi. Begitu sampai ia langsung mencari pos keamanan guna bertemu dengan orang yang merawat kedua orangtuanya dengan baik.

"Assalamu'alaikum, Pak."

Bapak petugas keamanan yang sedang duduk menolehkan kepala, menatap pada sumber suara yang sangat dikenalnya. "Wa'alaikumussalam, eh Mbak."

"Kabar orang tua saya gimana, Pak?"

"Sudah saya bersihkan, Mbak. Setiap sore saya bersihkan dan sirami air."

Zayra mengangguk tersenyum. Ia rindu sekali dengan tempat ini. Sudah hampir sepuluh bulan mungkin ia tidak mengunjungi kedua orangtuanya. Terakhir menyambangi, saat ia meminta restu untuk menikah dan itu ditemani Arya.

"Itu bunganya di nampan, Mbak. Ambil aja kalau mau." Bapak penjaga pemakaman menunjuk nampan yang berisikan bunga di depan pos keamanan. Dirinya mengambil beberapa genggam lalu ditaruhnya pada kantung yang ia bawa dari mobil.

Berjalan menyusuri makam-makam yang lain dengan jalan perlahan. Sampailah di dua gundukan yang tanahnya agak bersih dari rerumputan. Berjongkok di tengah makam tersebut.

Diusapnya tanah merah perlahan. Pandangannya ia labuhkan pada daun-daun kering yang hinggap di atasnya. "Assalamu'alaikum Pak, Bu."

Tangannya lalu merambat pada nisan kokoh bewarna hitam, bolak-balik ke kanan dan ke kiri untuk ia usap batu nisan itu."Maaf ya Pak, Bu, Ara baru datang lagi."

"Ara disini sehat, Bu. Kegiatan Ara sekarang cuma sibuk ngurusin kafe sama ngurusin Mas Arya."

"Tolong bantu Ara ya, Bu, walau Ara tahu Ibu udah nggak bisa bantu. Doain rumah tangga Ara, biar bisa seharmonis rumah tangga Bapak dan Ibu, Ara bisa jadi istri yang baik kayak Ibu, juga langgeng sama Mas Arya sampai ajal menjemput."

Beberapa doa ia panjatkan untuk kedua orang tua yang selalu ia jadikan tempat cerita seperti saat ini. Satu yang pasti, ia tidak akan menceritakan keburukan-keburukan Arya pada mendiang kedua orang tuanya. Meskipun, ia yakin tidak masalah menceritakan apapun pada orang yang sudah tiada, tetap ia harus menghormati Arya pun dimana tempatnya.

Sekitar dua puluh menit ia berada disana, lalu kembali lagi ke mobil. Memberi sedikit tip untuk penjaga makam. Lalu berniat menuju destinasi kedua yang akan ia sambangi.

Tidak jauh letaknya dari pemakaman. Butuh sekitar lima belas menit dari pemakaman untuk bisa sampai di kebun kesayangannya. Ia menyewa jasa petani untuk mengurus kebun yang luasnya tidak lebih dari seratus meter tersebut. Saat ini ia langsung bertemu dengan Pak Raden yang sedang menyebar pupuk di sekitar tanaman sayurannya. Pak Raden ini salah satu orang kepercayaannya untuk mengurus kebun karena beliau pernah bekerja dengan ibu sebagai petani kubis selama bertahun-tahun.

"Assalamu'alaikum, Pak?"

"Lho, Mbak Ara. Wa'alaikumussalam. Enggak bilang-bilang kalau mau kesini."

"Iya, Pak. Memang nggak rencana mau kesini. Pak Raden sehat?"

"Alhamdulillah, Mbak. Sehat. Ini lagi nyoba tanam sawi."

"Ini sawi hijau ya, Pak?"

"Iya, Mbak, beberapa hari yang lalu saya baru tebar benih sawi. Lumayan kelihatan langsung subur."

Zayra mengganggukkan kepalanya singkat. Melihat tomat yang sudah memerah, ia langsung mengambil keranjangnya di gubuk. Memetik tomat dan cabe yang sudah terlihat matang.

"Wortelnya sudah bisa dipanen belum ya, Pak?"

"Sudah, Mbak. Tapi belum saya ambil semua. Kalau Mbak mau ada di rumah saya, kemarin saya baru panen setengahnya."

"Iya Pak, Ara mau."

"Siap Mbak, ntar saya ambilkan. Mau singkongnya juga nggak Mbak? Kemarin baru panen juga."

"Oh, sudah ada juga singkongnya? Boleh deh, Pak."

Pak Raden bergegas menuju rumah setelah menuntaskan kegiatannya. Mengambil hasil panen untuk sang pemilik kebun.

"Daun singkongnya sudah dimasak sama istri saya. Cobain ya Mbak, yang mentahnya juga masih ada, kok." Ujar Pak Raden sekembalinya ia ke kebun dengan membawa hasil panen dan rantang berisi sayur daun singkong. Menghampiri Zayra yang tengah duduk di balai-balai bambu.

"Waduh, saya udah lama nggak kesini makin banyak yang ditanam ya, Pak."

"Iya. Mbak kalau mau cicip sayuran bisa bapak antar ke rumah hasil panennya. Sekarang kan, Mbak tinggalnya di Malang, nggak jauh kalau untuk ngirim. Nanti kasitau alamatnya aja, Mbak."

"Iya, nanti Ara kasitau rumah Ara yang sekarang." Balasnya seraya menerima bawaan Pak Raden. Menengok sekilas pada isi rantang. "Berarti sekarang Bapak nggak tanam buah lagi, ya?"

"Belum, Mbak. Nanti kalau semua sayuran disini sudah panen, baru bapak ganti tanam buah."

"Oh, nanti kabarin Ara ya Pak, kalau sudah tanam buah-buahan."

Zayra mengemasi barang bawaannya. Bersiap pamit pada Pak Raden.

"Pak, uangnya sudah Ara transfer ke Ibu Ning ya, Ara juga pamit pulang, nih. Udah siang juga. Terima kasih banyak ya, Pak." Ujarnya seraya menyalami tangan Pak Raden.

"Mbak, nggak usah transfer harusnya. Orang saya sama Ibu Ning makan lauk dan sayurnya dari sini."

Ibu Ning adalah istri Pak Raden. Anaknya sudah pada merantau ke luar Jawa. Mereka tinggal berdua tidak jauh dari kebun.

Kebun yang dikunjunginya kini tidak hanya ditanami sayur dan buah. Namun Pak Raden menggali sedikit lahan untuk membuat kolam ikan. Zayra jarang mengambil hasil ikan yang dipelihara Pak Raden. Karena dirinya tidak begitu suka makan ikan.

Dilihatnya jam pada layar handphone, menunjukkan pukul sebelas siang. Sepertinya ia langsung pulang ke rumah. Tidak jadi pergi ke kafe. Mengingat barang bawaannya banyak di tangan kanan kirinya.

Zayra tidak membuka aplikasi pesan, ia pun mematikan akses notifikasi yang masuk. Agar hari ini ia terasa tenang setelah mengunjungi tempat-tempat kesayangannya.

*____*

Zayra sedang menghidangkan sayur dan lauk di meja makan saat Arya pulang. Menyambutnya seperti biasa. Namun Arya tidak membahas soal handphonenya yang ketinggalan tadi pagi.

Ia menutup makanan dengan tudung saji saat melihat Arya justru menaiki tangga dan mengabaikan segelas air mineral yang disiapkannya. Ia mengikuti langkah kaki Arya menuju kamar.

Pintu ditutup, Arya membuka kemeja yang melapisi tubuhnya. Zayra masih terdiam di dekat pintu.

"Aku sudah siapkan sayur daun singkong santan, ayam goreng sama sambal." Ucapnya memberitahu.

Arya tidak membalas cukup lama.

Sampai ia dikejutkan dengan langkah kaki Arya yang mendekatinya dan tiba-tiba memegang tengkuknya untuk dicium bibirnya.

Ciuman Arya selalu membuatnya candu. Tapi yang ini terasa ia ingin menitikkan air mata. Tidak tahan untuk mengeluarkan sesak yang ia tahan seharian ini. Air matanya ikut membasahi wajah Arya yang kini tidak ada jarak antar keduanya.

Arya menyudahi aksinya setelah beberapa menit. Kaki Zayra lemas bukan main. Tanpa aba-aba, Arya menggendongnya, membawa dirinya pada sofa yang berada di balkon kamar. Mendudukkan dirinya pada pangkuan laki-laki itu, serta merta di dekapnya wajah yang masih berlinang air mata. Bersentuhan dengan tubuh Arya yang tidak terlapisi kain.

"Terima kasih, ya, sudah antar handphoneku ke kantor." Ujar Arya seraya melabuhkan kecupan di atas kepalanya.








Call It What You Want (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang