Keduanya makan dengan hening. Tak ada percakapan yang keluar selepas perbincangan soal oleh-oleh setengah jam yang lalu. Arya masih belum mencoba memberi penjelasan atau sekedar menjawab atas tuduhan yang ia layangkan.
Jika memang Arya tidak menyangkal asumsi yang ia pikirkan. Berarti benar, kan? Jika laki-laki itu memanglah tidak berniat membeli oleh-oleh.
Huh. Pergi berkunjung ke acara mantan di sela-sela kesibukannya, bisa laki-laki itu lakukan. Tapi sekedar membeli sesuatu untuk dirinya, mengapa tidak ia paksa luangkan waktu juga?
"Tumis pakcoy kamu enak. Kapan-kapan aku mau makan ini lagi." Arya memecah keheningan.
"Ya. Tapi tergantung mood ku nanti."
"Fine, aku minta maaf soal oleh-oleh yang aku janjikan."
Zayra membuang wajah. Malas menatap Arya yang tengah menunjukkan wajah memohonnya yang minta dimaafkan. Ia bangkit berdiri, memasukkan piring bekas makannya ke dalam wastafel.
"Nitip." Arya juga bangkit berdiri. Ikut memasukkan piring bekas makannya ke wastafel.
Zayra membuang napasnya kencang, seolah memberitahu jika laki-laki itu teramat menyebalkan.
*____*
Arya sudah tidur dari beberapa jam yang lalu. Ia juga tidur, sih. Tapi terbangun saat dirasa tidurnya sudah cukup. Kini ia entah harus melakukan apa. Pekerjaan rumah sudah ia bereskan tadi sebelum tidur.
Denting notifikasi handphone Arya mengejutkannya. Ia melihat pop up chat yang muncul.
From: Alfi
Send a contact
Itu nomornya Raline, ya.
Apa maksud laki-laki tengil itu mengirimkan nomor mantan suaminya?
Ia menepuk-nepuk pelan pipi Arya. Membangunkannya. Mencoba mencari penjelasan padanya, terkait pesan yang baru ia baca.
"Mas Arya bangun. Alfi kirim pesan."
Arya tampak terganggu, membuka matanya. "Ya. Tolong ambilkan handphone-ku."
Segera Zayra memberikan handphone milik suaminya.
"Nomor Raline untuk apa?" Zayra mencoba bertanya.
"Nomor Raline? Aku lagi ada perlu sama dia."
Zayra menghela napas pelan. Mencoba tetap terlihat santai di hadapan Arya.
Arya kembali tidur, setelah menggunakan handphonenya. Mengembalikan lagi handphone itu pada Zayra yang tadi memberinya.
Zayra tidak tahu kata sandi untuk membuka handphone di genggamannya. Delapan bulan menikah ia sama sekali tidak pernah melihat isi handphone itu.
Tidak ada urusan. Membuka handphone Arya benar-benar bukan urusannya. Tapi, jika itu soal Raline, jelas itu sudah menjadi urusannya.
Dua minggu pertama mereka menikah, Zayra dikejutkan dengan menemukan beberapa pack kartu undangan pernikahan atas nama Raline dan Arya. Banyak sekali. Undangan itu sudah dicetak banyak sekali. Ia menemukan di dalam meja kerja Arya yang kala itu tengah ia bereskan, karena berkas-berkas berserakan di atasnya.
Desainnya cantik, mewah dan elegan. Ia diam saja, sampai menunggu Arya yang menceritakannya lebih dulu. Tapi, seminggu berlalu ia belum mendengar penjelasan dari Arya. Sampailah pada kejadian dimana ia dikejutkan kembali dengan notifikasi pesan dari sebuah butik, Arya menamai kontaknya dengan nama Amara Butik pengantin, yang mengirimkan pesan.
From: Amara Butik Pengantin
Pak, bagaimana ya? Desainnya sudah jadi, apakah bisa dilangsungkan untuk proses jahit?
Tapi saya butuh DP untuk ganti biaya jasa desain. Segera ya, pak. Kami tunggu keputusannya.
Zayra hampir tak bisa bernapas usai membaca pesan itu. Sepulangnya Arya dari bekerja ia langsung mewawancarai terkait penemuan kejanggalan dalam rumah tangganya yang masih seumur jagung.
"Aku pernah hampir menikah. Sebelum dengan kamu."
"Dengan Raline. Sahabat aku."
Itu balasan Arya setelah seminggu kepalanya pening karena penemuan yang janggal.
"Aku nggak cerita ke kamu, karena aku mau melupakan. Melupakan semua tentang Raline dan memulai cerita dengan kamu."
"Aku sudah hapus kontaknya. Mengabaikan dia. Membatalkan semua persiapan pernikahan yang kami rencanakan. Gedung, gaun pengantin, kartu undangan, semua aku batalkan dan ganti biaya rugi. Aku juga sudah mendatangi keluarga Raline. Jadi, sekarang sudah nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku dan Raline sudah selesai."
Mendengar penuturan Arya tanpa sadar menusuk hatinya. Ia bahkan sampai tidak bisa tidur berhari-hari karena memikirkan nasib Raline. Bahkan ia berniat menemui Raline untuk menjelaskan semuanya. Tapi, Arya tidak mengizinkan.
Rasa kasihan pada Raline seketika hilang saat dirinya seringkali mendapati surat yang dikirimkan ke alamat rumah atas nama Raline Manisha.
Seminggu hampir dua sampai tiga kali surat berdatangan. Isinya tentang ajakan bertemu dengan suaminya. Zayra pernah memberikan surat-surat itu pada Arya, namun laki-laki itu tak peduli. Ia mengabaikannya.
Zayra sebetulnya tidak terlalu terganggu akan kedatangan surat-surat itu. Ia kumpulkan surat-surat itu di sebuah wadah, tidak lagi melaporkan pada Arya karena isinya sama saja. Tapi setelah tiga minggu berturut-turut dan memasuki minggu keempat surat itu diantarkan.
Isinya ditambahkan. Membuat Zayra geram membacanya.
Halo, Arya.
Ini aku Raline.
Semoga kamu sehat selalu, ya.
Kita sudah lama nggak temu jumpa. Aku benar-benar merindukan kamu. Sebagai seorang sahabat. Aku sedang di Jakarta saat ini. Berkunjung ke rumah teman lamaku. Kalau kamu lagi nggak benar-benar sibuk aku harap kita bisa bertemu. Kapan pun kamu punya waktu luang aku siap bertemu kamu.
Aku cuma minta penjelasan sejelas-jelasnya soal kita. Khususnya kamu yang saat ini sebetulnya sudah aku anggap kalau kamu adalah orang terjahat.
Tapi nggak apa-apa, I'm still here for you. Mengingat wajah kamu aja hati aku masih berdegup kencang. Meski perangai kamu sudah menyamai iblis.
Terbukti, cinta itu membutakan dan menulikan. Kamu yang sebenarnya seperti iblis saja aku masih cinta. Masih berharap kalau kamu akan datang melamar aku lagi untuk kedua kalinya.
Love you, Arya.
Thanks to read this.
Your beautiful bride ♥️Zayra mengerti bagaimana sesaknya seorang Raline. Tapi apakah harus mengirim surat seperti itu pada laki-laki yang dicintanya, dan tentu saja laki-lakinya sudah beristri.
Ia tidak pernah memaksa Arya menikah. Ia hanya menerima pinangan Arya. Tidak tahu dibalik cerita indah yang ia ukir ini ada orang lain yang menderita.
Dirinya membenci Raline. Membenci perempuan itu yang masih terang-terangan mengirim pesan cinta pada Arya. Karena jujur saja, tiga minggu ia menjalani pernikahan, rasa itu sedikit tumbuh. Arya, diluar perangainya yang menyebalkan, ia terlihat tulus. Tulus menerima kehadiran dirinya di rumah ini. Tulus ketika mendekap dirinya saat langit menggelap.
Sangat mudah untuk jatuh hati pada Arya. Apalagi ia seorang perempuan yang sudah lama sekali tidak memiliki hubungan dengan lelaki manapun.
Apakah diluar sana ada perempuan pemuja Arya selain Raline?
KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomanceMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...