"Jadi gimana? Mau, kan?" Tanya Arya usai menjelaskan dengan rinci perihal rencana kolaborasi.
Zayra menyandarkan dirinya pada bahu Arya yang tengah duduk disampingnya. "Aku diskusikan dulu, deh, dengan pegawai-pegawaiku."
"Oke. Besok malam kutunggu jawabannya." Balas Arya.
Zayra terlihat gelisah di mata Arya. Perempuan itu sepertinya tidak antusias. Ya, Arya tahu jika istrinya pastilah tidak akan antusias untuk melakukan hal-hal yang menyibukkan. Tapi dari ekspresi wajah yang ditampilkan saat ini, seperti berbeda.
"Tapi, Mas..." Akhirnya perempuan itu menyuarakan kegelisahannya juga. Tangannya memeluk lengan berotot Arya.
"Kafe aku kualitasnya lagi down dimata orang-orang. Bakal ngaruh nggak nanti ke tujuan acara kamu ini?"
Arya mengerti sekali maksud kegelisahan Zayra. "Enggak. Justru ini jadi kesempatan kafemu untuk bisa bangkit lagi disaat keadaan kafemu yang mungkin terbilang keruh, kuncinya tetap percaya diri dan unjukkan yang terbaik. Soal tercapainya tujuan acara itu jadi hasil akhir nanti. Nggak perlulah kamu ikut sibuk memikirkan soal peluncuran produk baruku, itu tugasku."
Zayra kembali menyandarkan kepalanya pada lengan Arya. "Iya, aku coba, ya, semoga nggak mengecewakan kamu."
"Masih ada waktu kurang lebih dua bulan untuk persiapan. Dibawa santai aja, oke?"
*___*
Tengah malam keduanya terbangun. Ada suara bel berbunyi, Arya langsung keluar kamar setelah memberi petuah pada Zayra yang matanya masih belum terbuka sempurna.
Tidak lama Arya kembali lagi ke kamar. Dengan Zayra yang sudah siap mendengar suara Arya.
"Bude kamu datang." Arya berucap.
"Bude?"
Arya menganggukkan kepala seraya menutup pintu kamar.
"Jam dua malam? Kamu yang benar aja, Mas? Aku bahkan udah lama banget nggak komunikasi dengan bude. Nggak mungkin tiba-tiba beliau kesini, tau darimana coba beliau kalau aku tinggal disini."
Arya mengedikkan bahunya.
"Terus gimana, Mas?"
"Apanya yang gimana?" Arya sudah merebahkan kembali dirinya di kasur.
Zayra tampak gelisah. "Sekarang beliau lagi apa?"
"Enggak tahu. Tadi aku cuma suruh beliau masuk ke kamar tamu. Kalau ada yang disampaikan bisa besok pagi saat sarapan."
Zayra masih tidak tenang. Ia memutuskan untuk keluar kamar seorang diri. Penasaran. Ingin menengok sebentar untuk memastikan benarkah itu budenya.
Pasalnya, sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu bude dari ibu. Ia tidak pernah berkunjung pun tidak peduli. Karena keluarga ibu saat prosesi pemakaman kedua orangtuanya berlangsung tidak hadir. Itu yang memutuskannya untuk tidak peduli pada keluarga ibu.
Ia hampir menginjakkan kaki di lantai dasar, saat mendengar suara pintu kamar tamu dibuka. Kemudian kakinya diurungkan untuk berpijak. Berdiam diri sejenak sembari memperhatikan orang yang sesungguhnya sama sekali tidak ia kenal.
Ya ampun. Matanya tidak sedang ngantuk. Ia sudah mencuci muka saat bangun tadi. Ini serius. Orang yang sedang berkeliaran di lantai satu rumahnya sama sekali tidak ia kenal.
Bagaimana ini?
Itu bukan budenya.
Ibu Zayra memiliki tiga orang kakak dan satu adik. Salah satu kakak ibu berjenis kelamin perempuan. Bude Narti namanya. Perawakan bude Narti yang ia ingat ketika mengunjungi rumahnya saat masih kuliah dulu tidak seperti yang ia lihat pada sosok yang kini sedang berada di dapur. Bude Narti berbadan sedang, cukup berisi. Tidak gemuk atau kurus. Rambutnya ikal dan pendek. Kulitnya coklat manis. Tapi yang sekarang dirumahnya tidak seperti itu.
Ia langsung berbalik badan kembali ke kamar dengan jalan yang perlahan. Kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dengan amat pelan agar tidak menimbulkan suara.
Arya belum tidur nyenyak saat Zayra kembali. Terbukti dari laki-laki itu langsung mendudukkan diri saat pintu kamar dibuka.
Wajah Zayra pucat pasi.
"Ra?"
"Mas!"
Keduanya saling bertatap bingung.
"Kenapa kamu?" Arya tidak biasanya melihat Zayra sebegitu pucatnya kecuali saat sedang sakit. Tapi perempuan itu tadi baik-baik saja.
"Orang yang dibawah bukan budeku, Mas. Aku nggak kenal. Itu bukan keluargaku."
Keluarga Zayra yang Arya tahu hanya adik dari ibu yang pernah hadir di acara pernikahan keduanya. Itupun laki-laki. Paklik Hasan Zayra memangilnya. Istrinya Paklik Hasan Arya tahu, masih muda karena Paklik Hasan menikahi gadis belia.
Mendengar pernyataan Zayra sedikit membuatnya panik. "Terus itu siapa?"
Sekarang Zayra yang mengedikkan bahunya.
Arya turun dari ranjang menghampiri Zayra yang masih berdiri di dekat pintu. Tangannya langsung mengamit tangan Zayra. Keduanya bersitatap dengan intens.
"Berarti dia orang asing?" Celetuk Arya di telinga Zayra.
Zayra diam saja. Sudah pastilah orang itu adalah orang asing yang mereka berdua tidak kenali.
"It's ok. Kita hadapi berdua." Ujar Arya seraya menggandeng Zayra keluar kamar.
Zayra yang langsung mengerti bahwa dirinya akan diajak untuk ikut turun kembali ke bawah menghadapi orang yang tak dikenal itu langsung menghempaskan genggaman Arya.
"Enggak mau, kamu aja yang hadapi, aku takut..."
"Enggak bisa dong, kita harus hadapi berdua."
Zayra langsung melarikan diri ke ranjang. Menenggelamkan diri di balik selimut.
"Ra, kamu cukup temani aku aja, selebihnya aku yang hadapi."
Zayra tampak sedikit tidak tega dengan Arya yang agaknya terlihat takut. Akhirnya ia bangun kembali, keluar kamar berdua dengan Arya yang sudah memegang tongkat bisbol. Kemudian turun tangga dengan perlahan. Dapat dilihat orang asing itu sedang duduk di meja makan.
Begitu sampai di bawah Arya tak tahan untuk berkata. "Maaf sebelumnya Bu, istri saya bilang ternyata Ibu bukan budenya. Lalu Ibu ini siapa, ya, sebenarnya?"
Wanita itu menengok dengan sebuah senyuman. "Oh, saya memang bukan budenya."
"Terus kenapa tadi Ibu ngaku-ngaku sebagai bude istri saya?" Arya sedikit mendekat. Zayra masih bergeming di tangga terakhir.
"Saya lagi kesasar. Cari rumah anak saya yang namanya Amri. Alamatnya hilang. Tapi seingat saya dia tinggal di komplek ini, cuma saya lupa nomor rumahnya. Mau tanya satpam tapi satpam kompleknya pada tidur, saya bangunin nggak pada bangun. Ya udah saya kesini. Cuma Masnya yang langsung bukain pintu waktu saya bohongi."
Zayra menghela napas di tempatnya. "Astaghfirullah Ibu." Ia mengusap wajahnya."Jadi Ibu ini ibunya Mas Amri yang pilot itu?"
Arya juga ikut-ikutan menghela napas. "Kenapa harus bohong sih, Bu. Kalau Ibu bilang dari awal saya bisa langsung antar Ibu ke rumahnya Mas Amri tadi."
Wanita itu justru cengar-cengir. Membuat Arya dan Zayra kembali bersitatap. Lalu langsung mengeksekusi wanita tua itu untuk dibawa ke rumah anaknya.
Ini terlalu seram. Di gulita malam ada wanita tua yang bertamu. Zayra masih bergidik ngeri dibuatnya, apalagi dengan tingkah wanita tua itu yang banyak cengar-cengir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomansaMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...