Arya sudah menghabiskan makannya. Diajaknya Zayra ke balkon untuk melanjutkan pembahasan yang tadi sempat tertunda karena ia sedang makan.
"Kalau aku ingin punya anak dalam waktu dekat, bagaimana?" Arya mulai membuka pembicaraan kembali. Menatap lamat-lamat ekspresi yang dikeluarkan dari raut wajah sang istri.
"Sebelum bahas itu, aku rasa akan lebih baik kalau kita bahas keuangan terlebih dahulu." Jawab Zayra.
"Keuanganku tentu bersumber dari perusahaan, saat ini aku sedang memulai dengan beberapa orang kepercayaanku untuk membuka kelas privat desainer, tapi itu masih perlu bahasan dan tindak lanjut lebih dalam lagi, kemungkinan aku baru merasakan hasilnya sekitar delapan sampai sepuluh tahun mendatang."
Zayra mencerna dengan baik perkataan Arya. Ia baru tahu soal informasi terakhir yang Arya sampaikan. Lalu, laki-laki itu tampak menggerakkan kepala dan matanya seolah menyuruhnya bicara.
"Keuanganku selain dari kafe, ada dari penghasilan kebun, walau nggak menentu jumlah dan waktu pemberiannya. Selama aku menjadi owner, aku selalu menyisihkan seperempat uang yang aku dapat untuk berdonasi setiap bulan. Mungkin, kalau nanti kita punya anak aku akan tetap berdonasi, tapi rentang waktunya akan aku kurangi jadi setiap tiga bulan sekali."
"Sudah, kan? Lalu sekarang aku rasa kita juga harus bahas soal pengasuhan anak." Usul Arya.
"Mau siapa dulu yang bicara?"
"Silakan, kamu dulu."
"Aku akan full meluangkan waktuku untuk anak selama masa kehamilan sampai usia anak memasuki masa pra sekolah. Aku akan percayakan kafe pada Kalila dengan aku yang tetap sigap memantau kafe dari rumah. Aku nggak akan pergi seenaknya ke kafe seperti biasa, kecuali ada hal yang penting atau mendesak. Itu pun akan aku ajak anak kita. Aku nggak perlu pengasuh, kecuali kalau keadaan sedang mendesak juga. Aku upayakan mendidik dan membimbing anakku dengan tangan, waktu dan pikiranku." Jelasnya pada Arya.
Arya tampak membetulkan letak duduknya. Memandang langit sore yang masih belum mau mengakhiri cahaya terangnya.
"Kalau aku, akan berusaha seperti Papa, melakukan keseimbangan antara karir, keluarga dan pasangan. Tolong ingatkan aku selalu, Ra, jika suatu saat aku terlalu memprioritaskan salah satunya. Terutama jika aku mengabaikan kamu, satu-satunya orang yang mungkin akan menemani aku sampai akhir."
Zayra memperhatikan bagaimana tangan Arya yang menjulur perlahan, menuju tangannya yang berada dalam pangkuannya. Menggenggam erat tangannya serta mengusapnya perlahan.
"Untuk jumlah anak, mau disepakati ingin berapa?" Arya bertanya perlahan.
Tidak langsung menjawab, tapi Zayra sudah memikirkan ingin memiliki anak satu saja. Tapi lidahnya kelu untuk melontarkan jawaban yang ia simpan. Diskusi bersama Arya, selalu ada selisih paham dan pendapat. Ia takut Arya tidak menyetujui keinginannya.
"Aku, mau satu aja, boleh nggak?" Akhirnya ia memilih mengeluarkan jawaban dengan manik mata yang ia hadapkan pada genggaman tangan Arya yang belum berhenti mengusap.
"Satu? Boleh."
"Kalau kamu mau berapa, Mas?" Tanya Zayra penasaran.
"Satu juga."
Zayra menaikkan sebelah alisnya.
"Kan, kamu maunya satu." Tambah Arya.
"Sebelum aku jawab, sebenarnya kamu mau berapa?" Masih penasaran ia bertanya lagi.
"Nggak ada jawaban mau berapa. Karena aku sudah meniatkan akan mengikuti kemauan kamu untuk punya berapa anak."
"Beneran mau satu?" Zayra memastikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Call It What You Want (END)
RomanceMenjalani pernikahan yang menurut Zayra terlampau biasa-biasa saja membuatnya merasa jenuh. Apalagi dihadapkan dengan suami yang setiap kali berbicara selalu memancing emosinya. Tak pernah melakukan kekerasan, laki-laki itu hanya menjengkelkan bagi...